Siang ini aku
melakukan perjalanan ke Tawang Mangu. Aku menggunakan bis umum yang bisa
mengantarkanku hingga tempat tujuan.
Aku memilih duduk di
kursi bis bagian tengah agak belakang. Baru saja aku menyandarkan punggungku di
sana, sudah ada penyanyi yang siap beraksi di samping kursiku. Inilah pengamen
pertama yang kulihat beraksi di bis yang kutumpangi. Dan terus saja, datang
pengamen silih berganti menghibur penumpang, mengharap sedikit kepekaan
penumpang untuk membagi receh yang mereka miliki kepada sang pengamen.
“Permisi, Mbak.” Sapa
seorang anak kecil sambil menyodorkan kantong permen kepadaku. Entah berapa
pengamen yang sudah mendatangiku, yang jelas stok receh di kantongku sudah
habis. Jadilah aku memberikan selembar ribuan untuknya (nggak tega kalau
ditolak, anak itu masih kecil, sekitar empat tahunan usianya).
“Matur nuwun, Mbak.”
Kata anak kecil itu tulus. Lalu melangkah lagi, tapi kutahan langkahnya,
“Tunggu, Dik!”
Dia menoleh dan
mendekat, “Iya, Mbak?”
“Duduk di sini.” Aku
menepuk-nepuk tempat duduk di sampingku, memintanya duduk. “Adik sendirian,
ya?”
Dia hanya menggeleng.
Aku mengerutkan
kening, “Lalu, di sini dengan siapa?”
“Itu!” dia menunjuk
seorang perempuan setengah baya berkacamata yang sedang menuntun seseorang.
“Ooh…” aku
manggut-manggut. “Ibunya Adik, ya?”
Kali ini ia
mengangguk.
“Adik ngapain di
sini?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Yang kutahu, anak-anak
seumuran dia itu sudah duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak. Tapi dia,
bukannya sekolah, malah ngamen.
“Bantuin Emak.”
“Oalah, Le,
kamu di sini to. Emak cari kemana-mana. Kok ndak nyusul
emak to tadi…” ungkapan kekhawatiran seorang ibu yang
tiba-tiba saja berada di sampingku, tak ayal membuatku terkejut.
“Maaf, Bu. Tadi saya
meminta Adik duduk di sini. Saya tidak tahu kalau Ibu menunggunya.” Aku merasa
bersalah.
“Ohh, ndak apa-apa,
Mbak ayu. Saya seharusnya berterima kasih, anak saya ditemani. Jadi merepotkan
Mbak ayu saja.”
“Tidak merepotkan, Bu.
Saya justru senang bisa berkenalan dengan Adik ini.” Ungkapku terus terang.
“Silakan duduk, Bu.” Aku menggeser posisi dudukku, memberi ruang untuk ibu
duduk.
“Terima kasih, Mbak.”
Ibu tersenyum.
Belum sempat duduk,
Ibu melihat ada penumpang yang baru saja naik ke bis. Beliau bergerak
menghampiri. “Mari, Mbak ayu. Hati-hati. Ndak usah
tergesa-gesa.” Kata Beliau sabar sambil menuntun sang penumpang duduk di
sebelahku. “Duduk di sini ya, Mbak ayu. Oiya, Mbak ayu turun dimana?”
“Terima kasih, Bu.
Saya turun di terminal Tirtonadi.” Jawab gadis berkerudung merah muda, yang
kini duduk di sampingku itu dengan lembut.
“Oalah, masih jauh
kok, Mbak ayu. Duduk di sini dulu saja.”
“Ya, Bu. Terima
kasih.”
Ibu berlalu. Kuikuti
beliau dengan ekor mataku. Aku penasaran. Tidak mungkin beliau turun dari bis
ini karena anak Beliau masih berada di pangkuanku. Lalu, apa yang akan Beliau
lakukan?
“Mari, Mas, Mbak. Ke
tengah saja, itu yang tengah masih kosong. Mari, Mbak.” Ibu itu mengantarkan
penumpang bis yang baru saja naik. Setelah itu, beliau membantu penumpang yang
akan turun dengan membawakan barang-barang mereka. “Turun dimana, Pak?” “Kiri,
Pak Sopir. Kiri, kiri…” Terus saja Beliau melakukan hal itu hingga bis memasuki
terminal.
Ibu itu kembali ke
tempat duduk kami. “Mari, Mbak ayu saya bantu, sudah sampai terminal.” Beliau
menuntun gadis berkerudung merah muda itu dengan sabar.
“Biar Adik dengan saya
saja, Bu.” Aku menawarkan diri. Lalu, aku menuntun bocah kecil itu di belakang
ibu.
Kami turun dari bis.
Kami menyusuri lorong terminal, mengantarkan gadis berkerudung merah muda
mencari bis jurusan Sragen. Ibu memilihkan bis jurusan Sragen yang paling awal
berangkat. Beliau mengantarkan hingga gadis itu mendapatkan tempat duduk yang
pas di bis. “Mbak ayu, maaf ya, saya hanya bisa mengantarkan sampai sini.
Hati-hati ya, Mbak ayu. Saya doakan Mbak ayu sampai di tujuan dengan selamat.”
“Iya, Bu. Terima kasih
sekali saya sudah dibantu. Maaf, saya sudah sangat merepotkan panjenengan,
Bu. Sekali lagi, terima kasih, Bu.” Ucap gadis berkerudung merah muda tulus.
“Saya senang
melakukannya, Mbak ayu. Ya sudah, saya turun dulu ya Mbak ayu.”
Kulihat senyum bahagia
dari beliau. Aku ikut senang melihatnya. Hatiku takjub melihat aksi kemanusiaan
yang Beliau lakukan. Sungguh, pada zaman serba semrawut ini, sangat jarang
kutemui orang berhati emas seperti Ibu.
“Ibu hebat!” pujiku
tulus.
“Ah, Mbak ayu ini,
bisa saja. Saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan. Itu saja, Mbak ayu.”
“Tapi jarang lho, Bu,
ada orang yang mau berlelah-lelah seperti yang Ibu lakukan tadi.”
“Yaah, hanya ini yang
bisa saya lakukan, Mbak ayu. Kalau ndak begini ya berarti saya
sudah ndakhidup.”
“Maksud Ibu?” tanyaku
tak mengerti dengan perkataan Beliau.
Ibu hanya tersenyum
menanggapi pertanyaanku. Beliau lalu mengajakku duduk di kursi tunggu yang
disediakan oleh pihak pengelola terminal.
“Mbak ayu ini mau
kemana to sebenarnya ?”
“Tujuan saya ke Tawang
Mangu, Bu.”
“Ke rumah Saudara?”
“Iya, Bu.”
“Senang ya, Mbak ayu,
bisa berkunjung ke rumah Saudara saat liburan. Eh, Mbak ayu sedang liburanto?”
aku mengangguk. “Mumpung masih muda, Mbak. Bisa jalan-jalan kemana pun yang
diinginkan.”
“Ibu juga bisa kok,”
selorohku.
“Ah, Mbak ayu ini.
Saya kan cuma pengamen. Jalan-jalannya ya naik bis. Pindah dari satu bis ke bis
yang lain sambil mengais rejeki dari menjual suara saya yang pas-pasan ini.”
Kata beliau merendah.
“Suara Ibu bagus kok.”
“Terima kasih, Mbak
ayu.”
“Adik selalu ikut
jalan-jalan ya, Bu?”
“Iya, Mbak ayu. Sejak
pertama kali saya mengamen, Untung selalu saya ajak. Sebenarnya saya kasihan
dengannya, tapi mau bagaimana lagi, Mbak ayu, ndak ada yang
ngurusi dia selain saya.”
“Keluarga atau Saudara
Ibu?”
“Keluarga saya
satu-satunya ya Untung itu, Mbak ayu. Suami saya sudah meninggal tiga tahun
yang lalu. Saya juga ndak punya saudara.”
“Maafkan saya, Bu.”
Aku merasa menyesal telah bertanya seperti itu pada Beliau.
“Ndak apa-apa,
Mbak ayu. Saya senang ada yang peduli dengan kami, apalagi mau ngobrol begini.
Mbak ayu tahu sendiri, pandangan orang-orang terhadap pengamen seperti saya
ini. Kami sering tak dipandang bahkan dianggap sampah masyarakat. Keberadaan
kami sepertinya menjadi gangguan bagi mereka.”
Beberapa saat lamanya
kami diam, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Hingga ada seseorang
yang duduk di sebelah kami. Ia duduk di kursi paling ujung, jaraknya dua kursi
dari kursi yang kutempati.
Ibu beranjak
mendekatinya “Permisi, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Ada yang bisa saya
bantu, Bu?”
Seorang ibu berpakaian
rapi dengan blus berwarna hijau yang duduk di kursi paling ujung itu menoleh
pada Ibu. Kulihat matanya sembab. Ia lalu menyeka air matanya.
Ibu duduk di
sampingnya. Dengan tulus, Ibu bertanya, “Ada apa, Bu?”
“Saya kecopetan.”
Tutur Ibu blus hijau lirih. “Ini.” Beliau menunjukkan bagian tasnya yang sobek
bekas sayatan benda tajam. “Saya bingung harus bagaimana. Semua uang saya ludes
dicopet. Saya tidak bisa pulang, padahal saya tidak punya saudara ataupun
teman di dekat sini yang bisa saya mintai bantuan.”
“Ibu mau kemana?”
“Saya mau menjenguk
anak saya yang tinggal di Cilacap. Dia baru saja melahirkan.”
“Sebentar ya, Bu.”
Tanpa berpikir panjang, Ibu meminta selendang yang di bawa Untung. Beliau
membuka buntalan di ujung selendang. Ternyata isinya kepingan uang receh dan
beberapa lembar uang ribuan yang berjumlah sekitar enam belas ribu rupiah.
“Ini, Bu.” Ibu
memberikan seluruh uangnya kepada Ibu blus hijau. “Maaf, hanya itu yang saya
punya, Bu. Saya tahu, itu belum cukup untuk biaya perjalanan dari sini ke
Cilacap, tapi InsyaAlloh bisa membantu.”
“Ini… untuk saya?”
Tanya Ibu blus hijau tak percaya.
Ibu hanya mengangguk.
“Ini mohon diterima,
Bu.” Kuberikan sebuah amplop pada Ibu blus hijau. Tidak terlalu banyak, tapiInsyaAlloh bisa
menutup biaya transport sampai ke Cilacap, Bu.”
Tiba-tiba saja Ibu
blus hijau menangis, “Alhamdulillah, Terima kasih, Bu, Mbak. Saya
beruntung bertemu dengan orang seperti kalian. Entah bagaimana nasib saya kalau
tidak ada kalian. Terima kasih.”
“Sama-sama, Bu. Kami
senang bisa membantu.”
“Saya tidak tahu
bagaimana harus membalas kebaikan Ibu dan Mbak ini. Semoga Alloh membalasnya
dengan sesuatu yang lebih baik. Amin.” Doa Ibu blus hijau mengiringi rasa
syukurnya.
“Amin…” sambut kami
bersamaan.
Ada sensasi rasa
tersendiri ketika aku bisa berbagi dengan orang lain. Rasa yang membuatku
merasa senang dan plong! Ada kelegaan di hati ini. Kurasa, tak ada
kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaan ini. Alhamdulillah… J
“Ibu, bolehkah saya
bertanya?” aku mendekati Ibu sesaat setelah kepergian Ibu blus hijau.
“Tanya apa, Mbak ayu?”
“Maaf ya,Bu, kalau hal
ini menyinggung perasaan Ibu. Mengapa Ibu memberikan seluruh uang Ibu?” aku
agak ragu mengucapkan kalimat terakhirku.
Ibu tersenyum sebelum
menjawabnya, “Memangnya kenapa, Mbak ayu?” ibu malah balik bertanya.
Aku jadi gelagapan
menanggapinya, “Ee, hmm, gimana ya, Bu. Ya, apa nggak sayang, Bu kalau uang
hasil jerih payah Ibu, Ibu berikan ke orang lain. Ibu dan Adik kan juga butuh biaya
untuk makan.”
“Saya kan masih bisa
ngamen lagi, Mbak ayu. Jadi saya ndak perlu khawatir ndak bisa
makan.”
“Tapi kan susah, Bu,
mengumpulkan uang sebegitu banyaknya. Apalagi nggak semua orang yang naik bis
mau memberi upah nyanyi ke pengamen yang sudah menghibur mereka.”
“Rejeki itu Alloh yang
menentukan, Mbak ayu. Alhamdulillah, hasil ngamen hari ini lumayan
danAlhamdulillah Alloh mengirimkan orang yang membutuhkan bantuan.
Itu merupakan rejeki saya, Mbak ayu.”
Dahiku berkerut,
berpikir. …mengirimkan orang yang membutuhkan bantuan. Itu merupakan
rejeki..? Kok bisa???
Ibu sepertinya
menangkap kebingunganku, lantas ibu berbicara, “Saya ini ndak punya
rumah, Mbak ayu. Saya dan Untung tinggalnya ya di jalanan. Makanya saya pengen
bangun rumah” Ibu menatapku sejenak. Lalu melanjutkan lagi, “dan hanya dengan
cara membantu orang lain saya bisa membangun rumah.”
“Lhoh? Kalau mau
membangun rumah ya uangnya ditabung dong, Bu. Kok malah diberikan ke orang
lain, ya nanti uangnya habis, nggak jadi bangun rumah,Bu.”
“Bukannya kalau kita
membantu orang lain, kita itu menabung ya, Mbak ayu?”
“Iya sih, Bu. Tapi Bu,
menurut pemahaman saya, kalau orang mau membangun rumah itu ya harus
mengumpulkan uang untuk biaya pembangunannya. Kalau nggak ada uang ya nggak ada
rumah, begitu kan Bu?”
Ibu manggut-manggut
mendengarkan celotehanku.
“Apalagi jaman
sekarang ini, Bu. Semua hal dinilai dengan uang. Sangat sedikit orang yang mau
membantu orang lain tanpa pamrih. Untuk memberi makan orang yang membutuhkan
saja susah, apalagi memberi tempat tinggal, kok kayaknya mustahil, Bu.”
Ibu hanya tesenyum.
“Pemerintah saja nggak
peduli dengan nasib rakyatnya. Kita lihat sekarang kan Bu, berapa banyak orang
miskin dan anak-anak terlantar yang membutuhkan uluran tangan orang lain, tapi
nggak mendapatkannya. Pemerintah tetap saja anteng, walau sudah
banyak tuntutan dari rakyat untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Nggak
terhitung lagi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan kalangan terpelajar khususnya
para mahasiswa menuntut janji pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, tapi
kenyataannya, hasilnya nol, Bu.” Ujarku berapi-api (gemes pengen melihat bukti
pemerintah memberantas kemiskinan di negeri ini).
Ibu tertawa kecil,
“Saya ndak mengerti urusan pemerintah, Mbak ayu. Pikiran wong
cilik itu sederhana. Yang penting bisa hidup, bisa makan, sudah
cukup. Ndak perlu demo-demo menuntut janji pemerintah,toh belum
tentu dikabulkan sama pemerintah. Wong cilik itu hidupnya
susah, Mbak ayu. Mikirin caranya cari uang untuk makan saja sudah mumet,
apalagi kalau ditambah mikirin caranya nagih janji pemerintah, ndak sempat,
Mbak ayu.” Ibu menghela nafas, “Kalau dipikir-pikir ya, Mbak ayu. Buat apato mahasiswa-mahasiswa
itu pada demo? Lha wong sudah tahu, kalau mereka demo
itu ndak digubris pemerintah kok ya masih dilakukan, kan cuma
dapat capek thok to, Mbak ayu? Iya, ndak?”
Aku mengangguk
membenarkan penuturan Ibu.
“Kan lebih baik kalau
aksi mereka itu ndak cuma demo saja, Mbak ayu. Daripada waktu,
uang dan tenaga mereka habiskan untuk demo yang ndak jelas
itu, mbok ya dipakai untuk membantu meringankan beban wong
cilik. Ngasih makan ke pengemis di pinggir jalan, membagikan ilmu kea
anak-anak terlantar yang ndak berkesempatan sekolah,
mengajarkan ketrampilan bahkan mungkin membuatkan lapangan pekerjaan
bagi wong cilik, jadi bisa mengurangi pengangguran. Kalau yang ini
kan lebih jelas hasilnya, iya to Mbak ayu? Dan hasil kerja
keras mereka ndak sia-sia, karena Alloh akan memberikan
balasan yang lebih baik dari yang mereka lakukan. Saya kok merasa yakin ya,
kalau kita mau meringankan beban orang lain, Alloh juga akan meringankan beban
hidup kita. Saya lebih percaya sama Alloh daripada sama pemerintah, Mbak ayu.
Pemerintah bisa saja salah, tapi Alloh ndak mungkin salah to?
Alloh ndak mungkin ingkar janji to, Mbak ayu?”
“Iya, ya, Bu.” Ibu
seperti menyadarkanku.
“Urip iki mung
sedelo,Mbak ayu. Kita harus pandai-pandai memanfaatkan waktu, kalau ndak ingin
celaka. Bukankah dunia itu sementara dan akhirat itu abadi? Membangun kehidupan
akhirat jauh lebih penting kan, Mbak ayu?” kata Ibu dengan senyumnya yang
mengembang.
“Ya sudah, Mbak ayu,
saya dan Untung pergi dulu. Mau ngamen lagi.”
“Oh iya, Bu. Terima
kasih atas semuanya, Bu. Saya beruntung bertemu dengan Ibu.” Ucapku tulus. Aku
menjabat tangan beliau lalu mencium tangannya. “Semoga kita bertemu lagi ya,
Bu.”
“Iya, Mbak ayu.
Hati-hati ya… Assalamu’alaykum.” Pamit beliau sebelum pergi.
“Wa’alaykumsalam
warohmatullah…”
Aku belum beranjak
dari duduk. Pikiranku masih berkutat , mencerna kata-kata Ibu. Kata-kata beliau
kembali terngiang di kepalaku, … Alhamdulillah Alloh mengirimkan orang
yang membutuhkan bantuan. Itu merupakan rejeki saya, Mbak ayu … Bukannya kalau
kita membantu orang lain, kita itu menabung ya, Mbak ayu?.... Bukankah dunia
itu sementara dan akhirat itu abadi ? Membangun kehidupan akhirat jauh lebih
penting kan, Mbak ayu?...
Apa maksud dari
perkataan Ibu tadi? Tanyaku
dalam hati. Terus saja aku mengulang-ulang ucapan Ibu, sembari mengingat lagi
seluruh kejadian yang aku saksikan sedari di bis sampai di terminal ini.
Sepanjang perjalanan
dengan beliau, tak kutemui hal-hal yang beliau lakukan kecuali menolong orang
lain, membantu meringankan beban mereka. Dari hal yang sepele, menunjukkan
penumpang bis tempat duduk yang masih kosong, membantu kernet bis berteriak
pada sopir saat ada penumpang yang akan turun dari bis, mengantarkan gadis
berjilbab merah muda (ternyata ia buta) ke bis yang akan mengantarkannya ke
Sragen, hingga memberikan seluruh uangnya kepada Ibu blus hijau yang kecopetan.
Itu semua beliau anggap sebagai rejeki, bukan beban.
“Hah, Subhanallah!”
seruku keras. Semua orang di sekelilingku menengok ke arahku. O ow, aku tak
sadar kalau aku masih berada di terminal bukan di kamar. Aku tersenyum sendiri,
mengangguk-angguk mengerti. Subhanallah, terima kasih ya Alloh, telah
Engkau pertemukan aku dengan seorang berhati mulia. Alhamdulillah, ini
pelajaran berharga untukku. Begitu indah caranya mensyukuri hidup yang Engkau
berikan. Tanpa keluhan,menjalani kehidupan yang Engkau takdirkan untuknya.
Bahkan dengan keadaan yang serba terbatas, ia menemukan kelapangan dari-Mu
untuk berbagi dengan orang lain. Sesuatu yang jarang ditemui seseorang dalam
hidupnya. Terima kasih, ya Alloh, telah Engkau didik aku, telah Engkau
tunjukkan aku nikmatnya berbagi dengan sesama dengan cara yang indah dan
mengesankan. Batinku bergumam.
“Ya Alloh, bangunkan
istana untuk Ibu dan Untung di Surga-Mu sebagai tempat tinggal mereka yang
abadi di akhirat nanti. Amin.” Gumamku lirih.
Aku berdiri.
Kulangkahkan kaki menuju parkiran bis Solo-Tawang Mangu, melanjutkan
perjalananku. J
Bertahun-tahun belajar
di bangku sekolah tak mampu membuatku mengerti bahwa memberi itu rejeki, tapi
di terminal aku menyaksikan sendiri ketika seseorang memberi sebenarnya saat
itulah ia sedang menikmati nikmat Alloh. Subhanalloh… jika kita mau sedikit saja
membuka hati, ternyata banyak pelajaran yang bisa kita pungut dari kehidupan
sekitar kita.
Aku mengerti sekarang,
mengapa Ibu berkata, ‘…hanya
dengan cara membantu orang lain saya bisa membangun rumah.’ Ternyata Ibu ingin
membangun tempat tinggalnya di surga. Subhanalloh, sungguh cita-cita Ibu begitu
mulia. Aku jadi iri.
“Ternyata orang yang kaya bukanlah orang
mempunyai banyak harta melainkan orang yang banyak memberikan hartanya( kepada
orang yang membutuhkan)”

0 komentar:
Posting Komentar