Jumat, 19 Oktober 2012

Membangun Rumah dengan Sedekah


Siang ini aku melakukan perjalanan ke Tawang Mangu. Aku menggunakan bis umum yang bisa mengantarkanku hingga tempat tujuan.
Aku memilih duduk di kursi bis bagian tengah agak belakang. Baru saja aku menyandarkan punggungku di sana, sudah ada penyanyi yang siap beraksi di samping kursiku. Inilah pengamen pertama yang kulihat beraksi di bis yang kutumpangi. Dan terus saja, datang pengamen silih berganti menghibur penumpang, mengharap sedikit kepekaan penumpang untuk membagi receh yang mereka miliki kepada sang pengamen.


“Permisi, Mbak.” Sapa seorang anak kecil sambil menyodorkan kantong permen kepadaku. Entah berapa pengamen yang sudah mendatangiku, yang jelas stok receh di kantongku sudah habis. Jadilah aku memberikan selembar ribuan untuknya (nggak tega kalau ditolak, anak itu masih kecil, sekitar empat tahunan usianya).
“Matur nuwun, Mbak.” Kata anak kecil itu tulus. Lalu melangkah lagi, tapi kutahan langkahnya, “Tunggu, Dik!”
Dia menoleh dan mendekat, “Iya, Mbak?”
“Duduk di sini.” Aku menepuk-nepuk tempat duduk di sampingku, memintanya duduk. “Adik sendirian, ya?”
Dia hanya menggeleng.
Aku mengerutkan kening, “Lalu, di sini dengan siapa?”
“Itu!” dia menunjuk seorang perempuan setengah baya berkacamata yang sedang menuntun seseorang.
“Ooh…” aku manggut-manggut. “Ibunya Adik, ya?”
Kali ini ia mengangguk.
“Adik ngapain di sini?” pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutku. Yang kutahu, anak-anak seumuran dia itu sudah duduk di bangku sekolah taman kanak-kanak. Tapi dia, bukannya sekolah, malah ngamen.
“Bantuin Emak.”
“Oalah, Le, kamu di sini to. Emak cari kemana-mana. Kok ndak nyusul emak to tadi…” ungkapan kekhawatiran seorang ibu yang tiba-tiba saja berada di sampingku, tak ayal membuatku terkejut.
“Maaf, Bu. Tadi saya meminta Adik duduk di sini. Saya tidak tahu kalau Ibu menunggunya.” Aku merasa bersalah.
“Ohh, ndak  apa-apa, Mbak ayu. Saya seharusnya berterima kasih, anak saya ditemani. Jadi merepotkan Mbak ayu saja.”
“Tidak merepotkan, Bu. Saya justru senang bisa berkenalan dengan Adik ini.” Ungkapku terus terang. “Silakan duduk, Bu.” Aku menggeser posisi dudukku, memberi ruang untuk ibu duduk.
“Terima kasih, Mbak.” Ibu tersenyum.
Belum sempat duduk, Ibu melihat ada penumpang yang baru saja naik ke bis. Beliau bergerak menghampiri. “Mari, Mbak ayu. Hati-hati. Ndak usah tergesa-gesa.” Kata Beliau sabar sambil menuntun sang penumpang duduk di sebelahku. “Duduk di sini ya, Mbak ayu. Oiya, Mbak ayu turun dimana?”
“Terima kasih, Bu. Saya turun di terminal Tirtonadi.” Jawab gadis berkerudung merah muda, yang kini duduk di sampingku itu dengan lembut.
“Oalah, masih jauh kok, Mbak ayu. Duduk di sini dulu saja.”
“Ya, Bu. Terima kasih.”
Ibu berlalu. Kuikuti beliau dengan ekor mataku. Aku penasaran. Tidak mungkin beliau turun dari bis ini karena anak Beliau masih berada di pangkuanku. Lalu, apa yang akan Beliau lakukan?
“Mari, Mas, Mbak. Ke tengah saja, itu yang tengah masih kosong. Mari, Mbak.” Ibu itu mengantarkan penumpang bis yang baru saja naik. Setelah itu, beliau membantu penumpang yang akan turun dengan membawakan barang-barang mereka. “Turun dimana, Pak?” “Kiri, Pak Sopir. Kiri, kiri…” Terus saja Beliau melakukan hal itu hingga bis memasuki terminal.
Ibu itu kembali ke tempat duduk kami. “Mari, Mbak ayu saya bantu, sudah sampai terminal.” Beliau menuntun gadis berkerudung merah muda itu dengan sabar.
“Biar Adik dengan saya saja, Bu.” Aku menawarkan diri. Lalu, aku menuntun bocah kecil itu di belakang ibu.
Kami turun dari bis. Kami menyusuri lorong terminal, mengantarkan gadis berkerudung merah muda mencari bis jurusan Sragen. Ibu memilihkan bis jurusan Sragen yang paling awal berangkat. Beliau mengantarkan hingga gadis itu mendapatkan tempat duduk yang pas di bis. “Mbak ayu, maaf ya, saya hanya bisa mengantarkan sampai sini.  Hati-hati ya, Mbak ayu. Saya doakan Mbak ayu sampai di tujuan dengan selamat.”
“Iya, Bu. Terima kasih sekali saya sudah dibantu. Maaf, saya sudah sangat merepotkan panjenengan, Bu. Sekali lagi, terima kasih, Bu.” Ucap gadis berkerudung merah muda tulus.
“Saya senang melakukannya, Mbak ayu. Ya sudah, saya turun dulu ya Mbak ayu.”
Kulihat senyum bahagia dari beliau. Aku ikut senang melihatnya. Hatiku takjub melihat aksi kemanusiaan yang Beliau lakukan. Sungguh, pada zaman serba semrawut ini, sangat jarang kutemui orang berhati emas seperti Ibu.
“Ibu hebat!” pujiku tulus.
“Ah, Mbak ayu ini, bisa saja. Saya hanya melakukan yang ingin saya lakukan. Itu saja, Mbak ayu.”
“Tapi jarang lho, Bu, ada orang yang mau berlelah-lelah seperti yang Ibu lakukan tadi.”
“Yaah, hanya ini yang bisa saya lakukan, Mbak ayu. Kalau ndak begini ya berarti saya sudah ndakhidup.”
“Maksud Ibu?” tanyaku tak mengerti  dengan perkataan Beliau.
Ibu hanya tersenyum menanggapi pertanyaanku. Beliau lalu mengajakku duduk di kursi tunggu yang disediakan oleh pihak pengelola terminal.
“Mbak ayu ini mau kemana to sebenarnya ?”
“Tujuan saya ke Tawang Mangu, Bu.”
“Ke rumah Saudara?”
“Iya, Bu.”
“Senang ya, Mbak ayu, bisa berkunjung ke rumah Saudara saat liburan. Eh, Mbak ayu sedang liburanto?” aku mengangguk. “Mumpung masih muda, Mbak. Bisa jalan-jalan kemana pun yang diinginkan.”
“Ibu juga bisa kok,” selorohku.
“Ah, Mbak ayu ini. Saya kan cuma pengamen. Jalan-jalannya ya naik bis. Pindah dari satu bis ke bis yang lain sambil mengais rejeki dari menjual suara saya yang pas-pasan ini.” Kata beliau merendah.
“Suara Ibu bagus kok.”
“Terima kasih, Mbak ayu.”
“Adik selalu ikut jalan-jalan ya, Bu?”
“Iya, Mbak ayu. Sejak pertama kali saya mengamen, Untung selalu saya ajak. Sebenarnya saya kasihan dengannya, tapi mau bagaimana lagi, Mbak ayu, ndak ada yang ngurusi dia selain saya.”
“Keluarga atau Saudara Ibu?”
“Keluarga saya satu-satunya ya Untung itu, Mbak ayu. Suami saya sudah meninggal tiga tahun yang lalu. Saya juga ndak punya saudara.”
“Maafkan saya, Bu.” Aku merasa menyesal telah bertanya seperti itu pada Beliau.
Ndak apa-apa, Mbak ayu. Saya senang ada yang peduli dengan kami, apalagi mau ngobrol begini. Mbak ayu tahu sendiri, pandangan orang-orang terhadap pengamen seperti saya ini. Kami sering tak dipandang bahkan dianggap sampah masyarakat. Keberadaan kami sepertinya menjadi gangguan bagi mereka.”
Beberapa saat lamanya kami diam, tenggelam dalam pikiran kami masing-masing. Hingga ada seseorang yang duduk di sebelah kami. Ia duduk di kursi paling ujung, jaraknya dua kursi dari kursi yang kutempati.
Ibu beranjak mendekatinya “Permisi, Bu. Maaf kalau saya mengganggu. Ada yang bisa saya bantu, Bu?”
Seorang ibu berpakaian rapi dengan blus berwarna hijau yang duduk di kursi paling ujung itu menoleh pada Ibu. Kulihat matanya sembab. Ia lalu menyeka air matanya.
Ibu duduk di sampingnya. Dengan tulus, Ibu bertanya, “Ada apa, Bu?”
“Saya kecopetan.” Tutur Ibu blus hijau lirih. “Ini.” Beliau menunjukkan bagian tasnya yang sobek bekas sayatan benda tajam. “Saya bingung harus bagaimana. Semua uang saya ludes dicopet. Saya tidak bisa pulang, padahal saya tidak punya saudara ataupun  teman di dekat sini yang bisa saya mintai bantuan.”
“Ibu mau kemana?”
“Saya mau menjenguk anak saya yang tinggal di Cilacap. Dia baru saja melahirkan.”
“Sebentar ya, Bu.” Tanpa berpikir panjang, Ibu meminta selendang yang di bawa Untung. Beliau membuka buntalan di ujung selendang. Ternyata isinya kepingan uang receh dan beberapa lembar uang ribuan yang berjumlah sekitar enam belas ribu rupiah.
“Ini, Bu.” Ibu memberikan seluruh uangnya kepada Ibu blus hijau. “Maaf, hanya itu yang saya punya, Bu. Saya tahu, itu belum cukup untuk biaya perjalanan dari sini ke Cilacap, tapi InsyaAlloh bisa membantu.”
“Ini… untuk saya?” Tanya Ibu blus hijau tak percaya.
Ibu hanya mengangguk.
“Ini mohon diterima, Bu.” Kuberikan sebuah amplop pada Ibu blus hijau. Tidak terlalu banyak, tapiInsyaAlloh bisa menutup biaya transport sampai ke Cilacap, Bu.”
Tiba-tiba saja Ibu blus hijau menangis, “Alhamdulillah, Terima kasih, Bu, Mbak. Saya beruntung bertemu dengan orang seperti kalian. Entah bagaimana nasib saya kalau tidak ada kalian. Terima kasih.”
“Sama-sama, Bu. Kami senang bisa membantu.”
“Saya tidak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Ibu dan Mbak ini. Semoga Alloh membalasnya dengan sesuatu yang lebih baik. Amin.” Doa Ibu blus hijau mengiringi rasa syukurnya.
“Amin…” sambut kami bersamaan.
Ada sensasi rasa tersendiri ketika aku bisa berbagi dengan orang lain. Rasa yang membuatku merasa senang dan plong! Ada kelegaan di hati ini. Kurasa, tak ada kata yang cocok untuk mengungkapkan perasaan ini. Alhamdulillah… J
“Ibu, bolehkah saya bertanya?” aku mendekati Ibu sesaat setelah kepergian Ibu blus hijau.
“Tanya apa, Mbak ayu?”
“Maaf ya,Bu, kalau hal ini menyinggung perasaan Ibu. Mengapa Ibu memberikan seluruh uang Ibu?” aku agak ragu mengucapkan kalimat terakhirku.
Ibu tersenyum sebelum menjawabnya, “Memangnya kenapa, Mbak ayu?” ibu malah balik bertanya.
Aku jadi gelagapan menanggapinya, “Ee, hmm, gimana ya, Bu. Ya, apa nggak sayang, Bu kalau uang hasil jerih payah Ibu, Ibu berikan ke orang lain. Ibu dan Adik kan juga butuh biaya untuk makan.”
“Saya kan masih bisa ngamen lagi, Mbak ayu. Jadi saya ndak perlu khawatir ndak bisa makan.”
“Tapi kan susah, Bu, mengumpulkan uang sebegitu banyaknya. Apalagi nggak semua orang yang naik bis mau memberi upah nyanyi ke pengamen yang sudah menghibur mereka.”
“Rejeki itu Alloh yang menentukan, Mbak ayu. Alhamdulillah, hasil ngamen hari ini lumayan danAlhamdulillah Alloh mengirimkan orang yang membutuhkan bantuan. Itu merupakan rejeki saya, Mbak ayu.”
Dahiku berkerut, berpikir. …mengirimkan orang yang membutuhkan bantuan. Itu merupakan rejeki..? Kok bisa???
Ibu sepertinya menangkap kebingunganku, lantas ibu berbicara, “Saya ini ndak punya rumah, Mbak ayu. Saya dan Untung tinggalnya ya di jalanan. Makanya saya pengen bangun rumah” Ibu menatapku sejenak. Lalu melanjutkan lagi, “dan hanya dengan cara membantu orang lain saya bisa membangun rumah.”
“Lhoh? Kalau mau membangun rumah ya uangnya ditabung dong, Bu. Kok malah diberikan ke orang lain, ya nanti uangnya habis, nggak jadi bangun rumah,Bu.”
“Bukannya kalau kita membantu orang lain, kita itu menabung ya, Mbak ayu?”
“Iya sih, Bu. Tapi Bu, menurut pemahaman saya, kalau orang mau membangun rumah itu ya harus mengumpulkan uang untuk biaya pembangunannya. Kalau nggak ada uang ya nggak ada rumah, begitu kan Bu?”
Ibu manggut-manggut mendengarkan celotehanku.
“Apalagi jaman sekarang ini, Bu. Semua hal dinilai dengan uang. Sangat sedikit orang yang mau membantu orang lain tanpa pamrih. Untuk memberi makan orang yang membutuhkan saja susah, apalagi memberi tempat tinggal, kok kayaknya mustahil, Bu.”
Ibu hanya tesenyum.
“Pemerintah saja nggak peduli dengan nasib rakyatnya. Kita lihat sekarang kan Bu, berapa banyak orang miskin dan anak-anak terlantar yang membutuhkan uluran tangan orang lain, tapi nggak mendapatkannya. Pemerintah tetap saja anteng, walau sudah banyak tuntutan dari rakyat untuk mengentaskan kemiskinan di negeri ini. Nggak terhitung lagi aksi-aksi demonstrasi yang dilakukan kalangan terpelajar khususnya para mahasiswa menuntut janji pemerintah dalam pengentasan kemiskinan, tapi kenyataannya, hasilnya nol, Bu.” Ujarku berapi-api (gemes pengen melihat bukti pemerintah memberantas kemiskinan di negeri ini).
Ibu tertawa kecil, “Saya ndak mengerti urusan pemerintah, Mbak ayu. Pikiran wong cilik itu sederhana. Yang penting bisa hidup, bisa makan, sudah cukup. Ndak perlu demo-demo menuntut janji pemerintah,toh belum tentu dikabulkan sama pemerintah. Wong cilik itu hidupnya susah, Mbak ayu. Mikirin caranya cari uang untuk makan saja sudah mumet, apalagi kalau ditambah mikirin caranya nagih janji pemerintah, ndak sempat, Mbak ayu.” Ibu menghela nafas, “Kalau dipikir-pikir ya, Mbak ayu. Buat apato mahasiswa-mahasiswa itu pada demo? Lha wong sudah tahu, kalau mereka demo itu ndak digubris pemerintah kok ya masih dilakukan, kan cuma dapat capek thok to, Mbak ayu? Iya, ndak?”
Aku mengangguk membenarkan penuturan Ibu.
“Kan lebih baik kalau aksi mereka itu ndak cuma demo saja, Mbak ayu. Daripada waktu, uang dan tenaga mereka habiskan untuk demo yang ndak jelas itu, mbok ya dipakai untuk membantu meringankan beban wong cilik. Ngasih makan ke pengemis di pinggir jalan, membagikan ilmu kea anak-anak terlantar yang ndak berkesempatan sekolah, mengajarkan ketrampilan  bahkan mungkin membuatkan lapangan pekerjaan bagi wong cilik, jadi bisa mengurangi pengangguran. Kalau yang ini kan lebih jelas hasilnya, iya to Mbak ayu? Dan hasil kerja keras mereka ndak sia-sia, karena Alloh akan memberikan balasan yang lebih baik dari yang mereka lakukan. Saya kok merasa yakin ya, kalau kita mau meringankan beban orang lain, Alloh juga akan meringankan beban hidup kita. Saya lebih percaya sama Alloh daripada sama pemerintah, Mbak ayu. Pemerintah bisa saja salah, tapi Alloh ndak mungkin salah to? Alloh ndak mungkin ingkar janji to, Mbak ayu?”
“Iya, ya, Bu.” Ibu seperti menyadarkanku.
Urip iki mung sedelo,Mbak ayu. Kita harus pandai-pandai memanfaatkan waktu, kalau ndak ingin celaka. Bukankah dunia itu sementara dan akhirat itu abadi? Membangun kehidupan akhirat jauh lebih penting kan, Mbak ayu?” kata Ibu dengan senyumnya yang mengembang.
“Ya sudah, Mbak ayu, saya dan Untung pergi dulu. Mau ngamen lagi.”
“Oh iya, Bu. Terima kasih atas semuanya, Bu. Saya beruntung bertemu dengan Ibu.” Ucapku tulus. Aku menjabat tangan beliau lalu mencium tangannya. “Semoga kita bertemu lagi ya, Bu.”
“Iya, Mbak ayu. Hati-hati ya… Assalamu’alaykum.” Pamit beliau sebelum pergi.
“Wa’alaykumsalam warohmatullah…”
Aku belum beranjak dari duduk. Pikiranku masih berkutat , mencerna kata-kata Ibu. Kata-kata beliau kembali terngiang di kepalaku, … Alhamdulillah Alloh mengirimkan orang yang membutuhkan bantuan. Itu merupakan rejeki saya, Mbak ayu … Bukannya kalau kita membantu orang lain, kita itu menabung ya, Mbak ayu?.... Bukankah dunia itu sementara dan akhirat itu abadi ? Membangun kehidupan akhirat jauh lebih penting kan, Mbak ayu?...
Apa maksud dari perkataan Ibu tadi? Tanyaku dalam hati. Terus saja aku mengulang-ulang ucapan Ibu, sembari mengingat lagi seluruh kejadian yang aku saksikan sedari di bis sampai di terminal ini.
Sepanjang perjalanan dengan beliau, tak kutemui hal-hal yang beliau lakukan kecuali menolong orang lain, membantu meringankan beban mereka. Dari hal yang sepele, menunjukkan penumpang bis tempat duduk yang masih kosong, membantu kernet bis berteriak pada sopir saat ada penumpang yang akan turun dari bis, mengantarkan gadis berjilbab merah muda (ternyata ia buta) ke bis yang akan mengantarkannya ke Sragen, hingga memberikan seluruh uangnya kepada Ibu blus hijau yang kecopetan. Itu semua beliau anggap sebagai rejeki, bukan beban.
“Hah, Subhanallah!” seruku keras. Semua orang di sekelilingku menengok ke arahku. O ow, aku tak sadar kalau aku masih berada di terminal bukan di kamar. Aku tersenyum sendiri, mengangguk-angguk mengerti. Subhanallah, terima kasih ya Alloh, telah Engkau pertemukan aku dengan seorang berhati mulia. Alhamdulillah, ini pelajaran berharga untukku. Begitu indah caranya mensyukuri hidup yang Engkau berikan. Tanpa keluhan,menjalani kehidupan yang Engkau takdirkan untuknya. Bahkan dengan keadaan yang serba terbatas, ia menemukan kelapangan dari-Mu untuk berbagi dengan orang lain. Sesuatu yang jarang ditemui seseorang dalam hidupnya. Terima kasih, ya Alloh, telah Engkau didik aku, telah Engkau tunjukkan aku nikmatnya berbagi dengan sesama dengan cara yang indah dan mengesankan. Batinku bergumam.
“Ya Alloh, bangunkan istana untuk Ibu dan Untung di Surga-Mu sebagai tempat tinggal mereka yang abadi di akhirat nanti. Amin.” Gumamku lirih.
Aku berdiri. Kulangkahkan kaki menuju parkiran bis Solo-Tawang Mangu, melanjutkan perjalananku. J

Bertahun-tahun belajar di bangku sekolah tak mampu membuatku mengerti bahwa memberi itu rejeki, tapi di terminal aku menyaksikan sendiri ketika seseorang memberi sebenarnya saat itulah ia sedang menikmati nikmat Alloh. Subhanalloh… jika kita mau sedikit saja membuka hati, ternyata banyak pelajaran yang bisa kita pungut dari kehidupan sekitar kita.
Aku mengerti sekarang, mengapa Ibu berkata, ‘…hanya dengan cara membantu orang lain saya bisa membangun rumah.’ Ternyata Ibu ingin membangun tempat tinggalnya di surga. Subhanalloh, sungguh cita-cita Ibu begitu mulia. Aku jadi iri.

 “Ternyata orang yang kaya bukanlah orang mempunyai banyak harta melainkan orang yang banyak memberikan hartanya( kepada orang yang membutuhkan)”

0 komentar:

Posting Komentar