Sabtu, 20 Oktober 2012

sang Edelweiss (Menantikanmu)


Bahasa cinta, butuh waktu untuk dimengerti…
Sepuluh tahun berlalu dan baru kini kumengerti, mengapa dulu ayah memberikan ini padaku dan bukan yang lain.
Segenggam edelweiss ada di tanganku, edelweiss kering yang menjadi saksi kenangan manis sepuluh tahun silam.


@@@

“Ini” dia menyodorkan sebuah vas bunga penuh berisi.
Aku mengernyit, “Apa ini?” sambil menerima pemberiannya.
“Entahlah… rumput mungkin.”
“Untukku?”
“He em”
Dia pergi membawa boneka besar di tangan kanannya dengan sumringah. Sementara aku masih mengamati bunga-bunga kecil –yang lebih mirip rumput daripada bunga– itu. Aku melengos, Harus kuapakan ini?
Aku masuk ke kamar. Kuletakkan vas itu di atas meja. Sejenak kuperhatikan ia, nggak cantik, nggak wangi, nggak menarik, apanya yang bagus dari sekumpulan bunga ini? Fiuh!
“Mbak…!” teriak adikku dari luar, mengejutkanku. “Bantuin dong!”
“Ya, sebentar” aku menyahut. Semenit kemudian aku telah berada di sampingnya. “Bantuin apa?”
Dia menggerakkan dagunya, menunjukkan kardus besar di hadapannya. “Tolong diangkat ke dalam ya, Mbak. Aku nggak kuat.”
“Hmm,”
“Oiya, setelah ini kita makan bareng ya?”
“Ha? Tumben kamu ngajak makan bareng, biasanya juga duluan.” Komentarku.
“Bareng sama ayah dan ibu juga.”
“Ayah udah sampai rumah?”
“Ya iyalah, kalau belum gimana mungkin oleh-olehnya udah nyampe rumah. Mbak ini aneh!”
“Ouw… Oke!”
Setelah cuci tangan, aku menyusul adikku ke ruang makan. Sudah ada ibu, ayah dan adik kecilku di sana.
“Hmm… sepertinya enak nih” ujarku melihat dan mencium bau sedap menu makan siang yang tersedia. Aku tersenyum, “Jadi lapar”
Aku duduk di tengah-tengah ke dua adikku, kemudian mengambil porsi makan siangku. Nggak butuh waktu lama untuk menyantap habis makananku. Selain aku lapar, menu makan siang kali ini sesuai dengan kesukaanku, jadilah aku lahap menyantapnya (nggak jauh beda dengan kedua adikku, hehe).
“Suka dengan oleh-olehnya?” Tanya ibu setelah kami selesai makan.
“Suka… Suka…!” adikku dengan semangat menjawabnya. Aku hanya bengong.
“Oleh-oleh apa, Bu?” tanyaku nggak mengerti.
“Oleh-olehnya Ayah. Punya kamu tadi dibawain Echa, kok. Udah dikasihin belum, Cha?”
Adikku, Echa, mengangguk.
“Mana? Aku belum nerima, Dek. Kamu lupa mungkin.”
“Iiih… udah kukasihin kok. Yang tadi itu lho, Mbak. Itu oleh-olehnya.”
“Vas?” tanyaku ragu.
“He em”
“Ha?!” Aku melongo, “Masa sih? Kamu bercanda ya, Dek?!”
“Serius. Emang itu kok, iya kan Yah?”
Ayah mengangguk. Aku langsung lemes.
“Kenapa, Mbak? Nggak suka ya?! Aku dikasih boneka lho, Mbak. Mau tukeran???” Echa menggodaku.
“Aku dibeliin baju ma ayah.” Si kecil ikutan nimbrung. “Mbak Ovi dikasih apa?”
“Dikasih rumput, Dek. Banyak lho…. Padahal kita cuma dikasih satu ya, Dek…” sahut Echa, lalu tertawa. Ayah dan Ibu juga.
Aku manyun doang, “Seneng ya?!”
Echa ngakak melihat wajah culunku.
“Itu yang paling mahal lho, Vi.” Kata ayah kemudian.
Echa semakin semangat ngakak-nya, bikin hati panas. Rumput kok dibandingin ma boneka dan baju, ya jelas beda. Paling mahal? Masa?! Ayah ini…
“Nggak percaya?” tanya ayah.
Aku hanya melihat ayah sebentar, lalu menunduk memainkan sendok bekas makanku.
“Tau nggak rumput itu namanya apa?” tambah ayah.
Aku menggeleng.
“Kata ayah tadi namanya adawes, Mbak.” Celetuk si kecil.
“Edelweiss, sayang.” Echa membenarkan.
“Edelweiss? Ayah naik gunung?”
Ayah mengangguk, “Itu rumput special. Dirawat baik-baik ya?!”

Spesial… apanya yang special dari bunga ini? Dari bentuk dan warnanya aja sama sekali nggak menarik, kalah ma mawar dan anggrek. Nggak wangi juga seperti sedap malam. Aah… kenapa Ayah harus memberiku bunga ini sih?
Dari tadi, aku hanya sibuk memandangi bunga yang nangkring di mejaku. Sekuntum bunga yang nggak lebih dari sekumpulan bunga rumput liat, seperti yang biasa kutemukan di lapangan, kecil dan biasa aja. Nggak wangi dan nggak menarik sama sekali. Satu-satunya hal yang membuatku bertahan tetap melihatnya adalah perkataan ayah tadi, itu rumput special.

@@@

“Hei…!” dia menepuk pundakku, membuatku terperanjat kaget.
“Aaah… Kakak ngagetin aja!” omelku, merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“Hehe… Assalamu’alaikum, Dek” dia duduk di sebelahku.
“Wa’alaikumsalam…”
“Kapan sampai di sini?”
“Kemarin sore”
“Wah, tau gitu aku ajak kamu juga ya?! Kamu sih nggak ngasih kabar dulu kalau mau ke sini. Jadinya aku nggak tahu.”
“Niatnya sih bikin kejutan, ternyata aku sendiri yang terkejut. Huff… Ngomong-ngomong, Kakak darimana sih? Semalem nggak pulang.”
“Tuh!” dia menunjuk puncak gunung yang gagah menjulang di timur kami.
“Naik gunung lagi, Kak?”
“Yups. Seru lho, Dek! Aku serombongan berangkat kemarin sore. Sekitar jam sembilan kita mulai perjalanan dari basecamp di Cemoro Sewu, menyusuri jalan sampai puncak. Kami mendaki ke pos Wesenan, lalu naik lagi ke Watu gedhek, terus menuju Watu kapur setelah itu ke Jolotundo sampai ke puncak tertinggi di Hargo Dumilah.
Wuih, asyik Dek. Keren banget pokoknya. Pemandangannya Subhanalloh, luar biasa indah. Di tengah-tengah perjalanan, Kakak bisa liat telaga Sarangan yang berkilauan memantulkan cahaya bulan, Kakak juga liat kerlap-kerlip lampu kota seperti lautan cahaya. Dan yang paling dahsyat, Dek…”
“Kakak bisa melihat sunrise dari puncak gunung.” Aku melanjutkan, “Perlahan-lahan mentari muncul dari ufuk timur, sedikit demi sedikit sampai membentuk bulatan utuh tepat di depan Kakak. Keindahannya nggak terlukiskan dengan kata-kata. Bulu kuduk Kakak selalu berdiri setiap kali melihatnya dan nggak henti-hentinya mengucapkan tasbih dan syukur atas nikmat Tuhan itu, karena dengan mata yang sempurna Kakak bisa melihat lukisan Tuhan yang tiada dapat seorangpun menandingi kuasa-Nya.”
Dia tersenyum puas.
“Aku sampai hafal, kan? Nggak ada bosan-bosannya ya Kakak naik gunung.”
“Bahkan jika setiap pekan sekali aku naik gunung, aku nggak akan bosan, Dek. Keindahan dan tantangan yang disajikan di setiap lintasan pendakian justru akan membuat kita ketagihan.”
“Oh ya? Temanku kapok tuh. Sekali dia ikut mendaki, setelah itu nggak mau ikut lagi. Berat dan melelahkan katanya.”
“Berarti dia bukan pendaki sejati, Dek. Hanya yang berani yang bisa menikmati keindahan dan tantangan yang tersaji di sana. Selain mereka yang berani, nggak akan betah berlama-lama di gunung.
Memang benar berat dan melelahkan, butuh usaha, keyakinan dan tekad untuk menakhlukkan medan yang ada. Kadang-kadang kita juga butuh kenekatan untuk mencapai puncak. Tapi di sinilah letak keasyikannya, di sinilah tantangannya. Di sinilah perbedaannya antara dia yang berani dan tidak. Siapa yang berani menapaki terjalnya medan pendakian, menerobos dinginnya udara, melawan segala resiko yang mungkin terpampang di hadapan mata, orang-orang itulah yang akan sampai di puncak. Selain itu, good bye… mereka akan mundur dengan sendirinya, Dek.”
“Berarti Kakak beruntung, ya?”
“Hmm?”
“Terpilih menjadi seorang berani hingga bisa mencapai puncak.”
Dia nyengir, “Ya begitulah kira-kira.” “Oh iya Dek, hampir lupa…” dia mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
“Edelweiss?” aku menerima seikat bunga yang dia sodorkan padaku.
Dia mengangguk, “Itu rumput special. Dirawat baik-baik ya?!”
“Apa spesialnya edelweiss sih, Kak?” celetukku spontan.
“Edelweiss hanya ada di puncak gunung. Di tempat yang tinggi itu dia tumbuh nggak terjamah tangan manusia, cukup Tuhan sebagai pemeliharanya. Nggak seperti bunga-bunga lain yang biasa kamu temui di pelataran rumah, yang setiap hari disiram empunya, hanya hujan yang menyiraminya. Tapi dia nggak kalah mempesona dibandingkan mawar dan sebangsanya.”
“Mempesona?” Apa kata itu nggak berlebihan untuk bunga semacam ini? Mending kalau yang disebut mempesona itu anggrek hutan, aku setuju. Lha ini, bunga rumput nggak jelas dibilang mempesona…
“Menurutmu itu lebay ya?” tebaknya tepat seperti yang terlintas di otakku. “Tapi menurutku itu pantas, Dek. Bagiku edelweiss adalah bunga yang special. Nggak semua orang bisa mendapatkan edelweiss dengan jerih payahnya sendiri. Hanya orang yang berani dan tangguhlah yang bisa memetiknya langsung karena hanya mereka yang bisa mencapai puncak gunung setelah berhasil melewati beratnya tantangan di sepanjang pendakian.”
Jujur, aku terkesima dengan pengungkapannya.
“Jadilah edelweiss yang mandiri dan setia pada kehendak-Nya dan bersiaplah karena suatu saat nanti seorang tangguh dan pemberani akan memetik dan menjagamu setulus kamu menjaga bunga edelweiss itu…” katanya sambil menepuk pundakku pelan.
Aku hanya bisa bengong mendengarnya, apa-apaan ini? Apa maksudnya berkata seperti itu padaku?
“Yah, seorang tangguh dan pemberani yang ada di hadapanmu sekarang ini kan nggak bisa menjagamu terus, Dek. Suatu saat nanti ada edelweiss lain yang harus kujaga. Jadi… (tuuut…sensor!)”  
“Kakak…! Jangan mulai lagi deh…!” aku memotong perkataannya.
Dia tertawa senang melihat pipiku memerah, “Tambah lucu deh kalau malu-malu gitu…” godanya.
Aku manyun. “Awas ya…!”
“Hihihihi… marah ni ya…”
“Weeek!” aku menjulurkan lidahku padanya, dan berlari masuk, meninggalkannya tetap duduk di batu besar itu.

@@@

Ayah… kini aku mengerti, mengapa Ayah memberikan sekuntum bunga rumput itu padaku. Kini aku setuju dengan Ayah, kalau Ayah mengatakan hadiah itu yang paling mahal yang pernah Ayah berikan padaku. Kegigihan Ayah untuk mendapatkannya yang membuat bunga itu menjadi mahal. Keberanian Ayah untuk memetiknya yang membuat bunga itu menjadi berharga. Aku menyukainya, Ayah….
Jadi teringat edelweiss pemberian Ayah yang kupajang di atas lemari. Apa kabarnya bunga itu ya??? Sekian lama kulupakan, hehehe…
Hmm… Ayah, Ayah… Kini aku mengerti, lewat edelweiss Ayah ingin mengajariku tentang kegigihan dan keberanian. Ayah ingin menjagaku dengan caranya. Ayah ingin menjadikanku istimewa. Baru kusadari, ternyata… Ayahku romantis…. (>, <)






0 komentar:

Posting Komentar