Bahasa cinta, butuh
waktu untuk dimengerti…
Sepuluh tahun berlalu
dan baru kini kumengerti, mengapa dulu ayah memberikan ini padaku dan bukan
yang lain.
Segenggam edelweiss
ada di tanganku, edelweiss kering yang menjadi saksi kenangan manis sepuluh
tahun silam.
@@@
“Ini” dia menyodorkan
sebuah vas bunga penuh berisi.
Aku mengernyit, “Apa
ini?” sambil menerima pemberiannya.
“Entahlah… rumput
mungkin.”
“Untukku?”
“He em”
Dia pergi membawa
boneka besar di tangan kanannya dengan sumringah. Sementara aku masih mengamati
bunga-bunga kecil –yang lebih mirip rumput daripada bunga– itu. Aku
melengos, Harus kuapakan ini?
Aku masuk ke kamar. Kuletakkan
vas itu di atas meja. Sejenak kuperhatikan ia, nggak cantik, nggak
wangi, nggak menarik, apanya yang bagus dari sekumpulan bunga ini? Fiuh!
“Mbak…!” teriak adikku
dari luar, mengejutkanku. “Bantuin dong!”
“Ya, sebentar” aku
menyahut. Semenit kemudian aku telah berada di sampingnya. “Bantuin apa?”
Dia menggerakkan
dagunya, menunjukkan kardus besar di hadapannya. “Tolong diangkat ke dalam ya,
Mbak. Aku nggak kuat.”
“Hmm,”
“Oiya, setelah ini
kita makan bareng ya?”
“Ha? Tumben kamu
ngajak makan bareng, biasanya juga duluan.” Komentarku.
“Bareng sama ayah dan
ibu juga.”
“Ayah udah sampai
rumah?”
“Ya iyalah, kalau
belum gimana mungkin oleh-olehnya udah nyampe rumah. Mbak ini aneh!”
“Ouw… Oke!”
Setelah cuci tangan,
aku menyusul adikku ke ruang makan. Sudah ada ibu, ayah dan adik kecilku di
sana.
“Hmm… sepertinya enak
nih” ujarku melihat dan mencium bau sedap menu makan siang yang tersedia. Aku
tersenyum, “Jadi lapar”
Aku duduk di
tengah-tengah ke dua adikku, kemudian mengambil porsi makan siangku. Nggak
butuh waktu lama untuk menyantap habis makananku. Selain aku lapar, menu makan
siang kali ini sesuai dengan kesukaanku, jadilah aku lahap menyantapnya (nggak
jauh beda dengan kedua adikku, hehe).
“Suka dengan
oleh-olehnya?” Tanya ibu setelah kami selesai makan.
“Suka… Suka…!” adikku
dengan semangat menjawabnya. Aku hanya bengong.
“Oleh-oleh apa, Bu?”
tanyaku nggak mengerti.
“Oleh-olehnya Ayah.
Punya kamu tadi dibawain Echa, kok. Udah dikasihin belum, Cha?”
Adikku, Echa,
mengangguk.
“Mana? Aku belum nerima,
Dek. Kamu lupa mungkin.”
“Iiih… udah kukasihin
kok. Yang tadi itu lho, Mbak. Itu oleh-olehnya.”
“Vas?” tanyaku ragu.
“He em”
“Ha?!” Aku melongo,
“Masa sih? Kamu bercanda ya, Dek?!”
“Serius. Emang itu
kok, iya kan Yah?”
Ayah mengangguk. Aku
langsung lemes.
“Kenapa, Mbak? Nggak
suka ya?! Aku dikasih boneka lho, Mbak. Mau tukeran???” Echa menggodaku.
“Aku dibeliin baju ma
ayah.” Si kecil ikutan nimbrung. “Mbak Ovi dikasih apa?”
“Dikasih rumput, Dek.
Banyak lho…. Padahal kita cuma dikasih satu ya, Dek…” sahut Echa, lalu tertawa.
Ayah dan Ibu juga.
Aku manyun doang,
“Seneng ya?!”
Echa ngakak melihat
wajah culunku.
“Itu yang paling mahal
lho, Vi.” Kata ayah kemudian.
Echa semakin semangat
ngakak-nya, bikin hati panas. Rumput kok dibandingin ma boneka dan
baju, ya jelas beda. Paling mahal? Masa?! Ayah ini…
“Nggak percaya?” tanya
ayah.
Aku hanya melihat ayah
sebentar, lalu menunduk memainkan sendok bekas makanku.
“Tau nggak rumput itu
namanya apa?” tambah ayah.
Aku menggeleng.
“Kata ayah tadi
namanya adawes, Mbak.” Celetuk si kecil.
“Edelweiss, sayang.”
Echa membenarkan.
“Edelweiss? Ayah naik
gunung?”
Ayah mengangguk, “Itu
rumput special. Dirawat baik-baik ya?!”
Spesial… apanya yang
special dari bunga ini? Dari bentuk dan warnanya aja sama sekali nggak menarik,
kalah ma mawar dan anggrek. Nggak wangi juga seperti sedap malam. Aah… kenapa
Ayah harus memberiku bunga ini sih?
Dari tadi, aku hanya
sibuk memandangi bunga yang nangkring di mejaku. Sekuntum bunga yang nggak
lebih dari sekumpulan bunga rumput liat, seperti yang biasa kutemukan di
lapangan, kecil dan biasa aja. Nggak wangi dan nggak menarik sama sekali.
Satu-satunya hal yang membuatku bertahan tetap melihatnya adalah perkataan ayah
tadi, itu rumput special.
@@@
“Hei…!” dia menepuk
pundakku, membuatku terperanjat kaget.
“Aaah… Kakak ngagetin
aja!” omelku, merasa terganggu dengan kedatangannya yang tiba-tiba.
“Hehe…
Assalamu’alaikum, Dek” dia duduk di sebelahku.
“Wa’alaikumsalam…”
“Kapan sampai di
sini?”
“Kemarin sore”
“Wah, tau gitu aku
ajak kamu juga ya?! Kamu sih nggak ngasih kabar dulu kalau mau ke sini. Jadinya
aku nggak tahu.”
“Niatnya sih bikin
kejutan, ternyata aku sendiri yang terkejut. Huff… Ngomong-ngomong, Kakak
darimana sih? Semalem nggak pulang.”
“Tuh!” dia menunjuk
puncak gunung yang gagah menjulang di timur kami.
“Naik gunung lagi,
Kak?”
“Yups. Seru lho, Dek!
Aku serombongan berangkat kemarin sore. Sekitar jam sembilan kita mulai
perjalanan dari basecamp di Cemoro Sewu, menyusuri jalan sampai puncak. Kami
mendaki ke pos Wesenan, lalu naik lagi ke Watu gedhek, terus menuju Watu kapur
setelah itu ke Jolotundo sampai ke puncak tertinggi di Hargo Dumilah.
Wuih, asyik Dek. Keren
banget pokoknya. Pemandangannya Subhanalloh, luar biasa indah. Di tengah-tengah
perjalanan, Kakak bisa liat telaga Sarangan yang berkilauan memantulkan cahaya
bulan, Kakak juga liat kerlap-kerlip lampu kota seperti lautan cahaya. Dan yang
paling dahsyat, Dek…”
“Kakak bisa
melihat sunrise dari puncak gunung.” Aku melanjutkan,
“Perlahan-lahan mentari muncul dari ufuk timur, sedikit demi sedikit sampai
membentuk bulatan utuh tepat di depan Kakak. Keindahannya nggak terlukiskan
dengan kata-kata. Bulu kuduk Kakak selalu berdiri setiap kali melihatnya dan
nggak henti-hentinya mengucapkan tasbih dan syukur atas nikmat Tuhan itu, karena
dengan mata yang sempurna Kakak bisa melihat lukisan Tuhan yang tiada dapat
seorangpun menandingi kuasa-Nya.”
Dia tersenyum puas.
“Aku sampai hafal,
kan? Nggak ada bosan-bosannya ya Kakak naik gunung.”
“Bahkan jika setiap
pekan sekali aku naik gunung, aku nggak akan bosan, Dek. Keindahan dan
tantangan yang disajikan di setiap lintasan pendakian justru akan membuat kita
ketagihan.”
“Oh ya? Temanku kapok
tuh. Sekali dia ikut mendaki, setelah itu nggak mau ikut lagi. Berat dan
melelahkan katanya.”
“Berarti dia bukan
pendaki sejati, Dek. Hanya yang berani yang bisa menikmati keindahan dan
tantangan yang tersaji di sana. Selain mereka yang berani, nggak akan betah
berlama-lama di gunung.
Memang benar berat dan
melelahkan, butuh usaha, keyakinan dan tekad untuk menakhlukkan medan yang ada.
Kadang-kadang kita juga butuh kenekatan untuk mencapai puncak. Tapi di sinilah
letak keasyikannya, di sinilah tantangannya. Di sinilah perbedaannya antara dia
yang berani dan tidak. Siapa yang berani menapaki terjalnya medan pendakian,
menerobos dinginnya udara, melawan segala resiko yang mungkin terpampang di
hadapan mata, orang-orang itulah yang akan sampai di puncak. Selain itu, good
bye… mereka akan mundur dengan sendirinya, Dek.”
“Berarti Kakak
beruntung, ya?”
“Hmm?”
“Terpilih menjadi
seorang berani hingga bisa mencapai puncak.”
Dia nyengir, “Ya
begitulah kira-kira.” “Oh iya Dek, hampir lupa…” dia mengambil sesuatu dari
dalam tasnya.
“Edelweiss?” aku
menerima seikat bunga yang dia sodorkan padaku.
Dia mengangguk, “Itu
rumput special. Dirawat baik-baik ya?!”
“Apa spesialnya
edelweiss sih, Kak?” celetukku spontan.
“Edelweiss hanya ada
di puncak gunung. Di tempat yang tinggi itu dia tumbuh nggak terjamah tangan
manusia, cukup Tuhan sebagai pemeliharanya. Nggak seperti bunga-bunga lain yang
biasa kamu temui di pelataran rumah, yang setiap hari disiram empunya, hanya
hujan yang menyiraminya. Tapi dia nggak kalah mempesona dibandingkan mawar dan
sebangsanya.”
“Mempesona?” Apa
kata itu nggak berlebihan untuk bunga semacam ini? Mending kalau yang disebut
mempesona itu anggrek hutan, aku setuju. Lha ini, bunga rumput nggak jelas
dibilang mempesona…
“Menurutmu itu lebay
ya?” tebaknya tepat seperti yang terlintas di otakku. “Tapi menurutku itu
pantas, Dek. Bagiku edelweiss adalah bunga yang special. Nggak semua orang bisa
mendapatkan edelweiss dengan jerih payahnya sendiri. Hanya orang yang berani
dan tangguhlah yang bisa memetiknya langsung karena hanya mereka yang bisa
mencapai puncak gunung setelah berhasil melewati beratnya tantangan di
sepanjang pendakian.”
Jujur, aku terkesima
dengan pengungkapannya.
“Jadilah edelweiss
yang mandiri dan setia pada kehendak-Nya dan bersiaplah karena suatu saat nanti
seorang tangguh dan pemberani akan memetik dan menjagamu setulus kamu menjaga
bunga edelweiss itu…” katanya sambil menepuk pundakku pelan.
Aku hanya bisa bengong
mendengarnya, apa-apaan ini? Apa maksudnya berkata seperti itu padaku?
“Yah, seorang tangguh
dan pemberani yang ada di hadapanmu sekarang ini kan nggak bisa menjagamu
terus, Dek. Suatu saat nanti ada edelweiss lain yang harus kujaga. Jadi… (tuuut…sensor!)”
“Kakak…! Jangan mulai
lagi deh…!” aku memotong perkataannya.
Dia tertawa senang
melihat pipiku memerah, “Tambah lucu deh kalau malu-malu gitu…” godanya.
Aku manyun. “Awas ya…!”
“Hihihihi… marah ni
ya…”
“Weeek!” aku
menjulurkan lidahku padanya, dan berlari masuk, meninggalkannya tetap duduk di
batu besar itu.
@@@
Ayah… kini aku
mengerti, mengapa Ayah memberikan sekuntum bunga rumput itu padaku. Kini aku
setuju dengan Ayah, kalau Ayah mengatakan hadiah itu yang paling mahal yang
pernah Ayah berikan padaku. Kegigihan Ayah untuk mendapatkannya yang membuat
bunga itu menjadi mahal. Keberanian Ayah untuk memetiknya yang membuat bunga
itu menjadi berharga. Aku menyukainya, Ayah….
Jadi teringat
edelweiss pemberian Ayah yang kupajang di atas lemari. Apa kabarnya bunga itu
ya??? Sekian lama kulupakan, hehehe…
Hmm… Ayah, Ayah… Kini
aku mengerti, lewat edelweiss Ayah ingin mengajariku tentang kegigihan dan
keberanian. Ayah ingin menjagaku dengan caranya. Ayah ingin menjadikanku
istimewa. Baru kusadari, ternyata… Ayahku romantis…. (>, <)

0 komentar:
Posting Komentar