Senin, 05 November 2012

Please, SADAR DONG... !!! T__T

"Saya ucapkan jazakumullah khoir untuk semua sahabat-sahabat saya yang telah menginspirasi dan merubah hidup saya...Tanpa kehadiran kalian, mungkin saya tetap akan menjadi manusia yang biasa-biasa saja...
note ini, saya persembahkan untuk semua sahabat saya yang turut berperan dalam merubah kehidupan saya kepada kebaikan...
Inilah memori tentang kita dulu... Tentang keangkuhanku dan kesabaranmu (sahabat) dalam menghadapiku..."

Aku sedang duduk menghadapnya. Kamu tahu siapa dia? Ya, dia temanku. Teman terbaikku yang seringkali membuatku sakit kepala dengan tingkahnya. Seperti kali ini, dia mengomel tak jelas di depanku. Keluhannya yang bejibun itu lho yang seringkali bikin migrain. Emangnya nggak ada kerjaan lain selain mengeluh dan menyalahkan? Haduhh… Nah kan, aku malah jadi ikut-ikutan ngeluh.
Ingin sekali aku menjitaknya, biar dia sadar kalau dia sukses bikin telingaku panas. Yeah, anggap saja jitakan itu sebagai reward atas kesuksesannya membuatku hampir meledak. Sekali lagi, hampir meledak! Itu tandanya sikapnya sudah keterlaluan. Itu masih nggak masalah (eh, tetep masalah dong!), yang bikin kepala makin nyeri tuing-tuing, dia itu nggak nyadar kalau perbuatannya–maaf– bikin orang susah tambah susah. Kyaaa…! Gimana caranya supaya dia sadar??!
Aku butuh kapas atau kertas atau gabus atau kain atau apalah yang penting bisa jadi penyumbat telinga. Suer deh, kalau lebih lama aku mendengar celotehannya yang sama sekali nggak berbobot itu, rambutku bisa keriting mendadak. Keriting mendadak gitu, aaahhh… nggak mauuuu…!!!
Please… enough! Cukup, kawan! Jangan katakan apapun lagi atau aku akan pergi! Pilih yang mana? Hayoo… pilih yang mana?!
Wuaaa… dia nggak mau diam! Ancamanku dianggap angin lalu. Iiiihh, please deh! Udah ngasih kuping kok masih juga dikacangin. Ampuuuun!!! What must I do?

Huft… Oke. Aku tetap di sini. Puas-puasin berceloteh, puas-puasin ngomel-ngomel. Tenang, telingaku masih kuat nemenin dua puluh empat jam penuh (Kamu kuat nggak ngomong segitu lamanya??? Kalau nggak kuat mending berhenti sekarang juga!). Aku nggak akan pergi. Aku nggak akan lari. (Paling-paling cuma tidur di sini, hehe… didongengin sih).


Jangankan dua puluh empat jam, baru setengah jam lebih sedikit aja dia udah kecapaian. Berhenti ngomong dan menghabiskan setengah botol minuman dingin. Aku? Nggak kalah payah, mata udah hampir merem sempurna. Hehe… (Baru segitu aja udah sok jagoan… Dasar payah!)
“Masih ada lagi?”
Dia geleng-geleng.
“Kalau masih ada, katakan aja.”
Dia geleng-geleng lagi.
“Nyantai aja… Aku masih kuat dengerin kok.”
Dia tetap geleng-geleng.
Aku menghela nafas panjang, “Ya udah, berarti gantian aku yang ngomong ya?”
Nah, sekarang baru dia mengangguk.

Tiba kesempatanku untuk mengungkapkan isi hatiku padanya. Harus kusampaikan semua. Semuanya. Biar dia tahu apa yang aku dan orang lain rasakan saat mendengar setiap keluh kesahnya. Kalau orang lain nggak berani ngomong, aku harus berani menyampaikan padanya. Nggak apa-apa, demi kebaikan. Oke? Oke!

“Bagaimana?”
“Hm..?”
“Perasaanmu sekarang?”
Dahinya berkerut, dia bingung dengan pertanyaanku.
“Kamu puas, lega?”
“Sedikit…”
“Sedikit itu seberapa?”
“Segini...” Dia mendekatkan jempol dan telunjuknya.
Mataku melotot, “Haa? Cuma segitu? Serius, Vy?!”
Dia mengangguk lemah.
Aku geleng-geleng tak mengerti, “Ovy… Ovy… kamu tuh ya, buang-buang energi.”
“Hm…?”
“Liat deh, Vy!” Aku menunjuk benda-benda di depannya. “Semangkuk soto, segelas jus wortel dan hampir sebotol air mineral yang udah kamu habiskan itu sia-sia.”
“Kok bisa?”
“Energinya hanya menjadi uap yang keluar dari mulutmu itu. Mending kalau yang keluar itu hal yang bermanfaat. Yang kamu omongin tadi nggak ada gunanya, Vy.”
“Nggak ada gunanya gimana sih? Aku nggak ngerti.”
“Apa yang kamu dapat dari ngomel-ngomel tadi? Senang? Tenang? Enggak, kan?! Kamu cuma dapat capek, Vy.”
“Iiih… Aku tuh lagi suntuk, lagi sebel. Bantuin atau gimana gitu biar nggak suntuk lagi. ini malah diomelin.” Gerutunya, membuatku semakin gatal ingin menjitaknya.
“Apa sih yang membuatmu suntuk, yang membuatmu sebel? Mereka yang seenaknya sendiri? Mereka yang nggak mau dengerin kamu? Mereka yang nggak ngertiin kamu? Mereka yang menuntut banyak hal darimu? Mereka yang nggak ada saat kamu butuhkan? Iya?!”
Dia diam menunduk.
“Mereka temanmu?”
Dia mengangguk pasrah.
“Kamu teman mereka?”
Dia mengangguk lagi.
“Kamu yakin?”
Dia melirikku sekilas lalu menunduk lagi.
“Kamu yakin, Vy?” Aku mengulangi pertanyaanku.
Dia mengangguk pelan, mungkin dia ragu.
“Aku nggak yakin.”
Dia mengangkat kepalanya, melihatku dengan tatapan bertanya.
“Aku nggak yakin kalau kamu itu teman mereka.”
Dia mengernyit.
“Maaf jika yang akan kukatakan ini menyinggungmu, Vy… Ingin kusampaikan padamu kalau sebenarnya bukan mereka yang seenaknya sendiri, bukan mereka yang nggak mendengarkanmu, bukan mereka yang nggak mengerti kamu dan mereka pun nggak pernah menuntut banyak hal darimu, tapi sebaliknya. Kamu yang bersikap seenaknya sendiri. Kamu yang nggak mendengarkan mereka. Kamu yang nggak mengerti mereka. Dan kamu juga yang menuntut banyak dari mereka.”
Aku berhenti sejenak. Kuperhatikan dia diam tanpa melakukan pembelaan, menyangkal semua yang baru saja kuucapkan. Dia memikirkan kata-kataku? Mungkin.
“Mereka menjadi temanmu, memperhatikanmu. Mereka berusaha melakukan yang terbaik untukmu. Mereka menyayangimu. Kamu tahu itu kan, Vy?” lanjutku. “Mereka mengorbankan banyak hal untuk menyenangkan hatimu, tapi semua itu tetap kurang bagimu. Kamu ingin lebih dan lebih lagi. Semua itu belum cukup untuk memuaskan egomu, Vy.”
“Tapi…”
“Kamu punya banyak masalah hingga kamu merasa mereka perlu memberikan perhatian lebih padamu?” Aku memotong perkataannya. “Ingat, Vy. Mereka juga manusia, sama sepertimu. Jika kamu punya masalah, mereka juga punya. Jika kamu merasa terbebani dengan semua masalahmu itu, mungkin mereka juga terbebani dengan masalah mereka sendiri.
“Vy… Pernahkah kamu bertanya pada mereka tentang masalah yang mereka hadapi? Pernahkah terpikir olehmu untuk membantu mengatasi masalah mereka? Pernahkah kamu tergerak untuk meringankan beban mereka? Pernahkah, Vy?”
“Mereka selalu ceria. Jarang sekali mereka menceritakan tentang masalah mereka.” ungkapnya lirih.
“Bagaimana mungkin mereka membebanimu dengan menceritakan masalah mereka sementara mereka tahu –dari ceritamu– kamu punya masalah yang sering kali membuatmu frustasi seperti ini. Mereka nggak tega menambah bebanmu, Vy. Mereka lebih memilih diam menyimpan masalah mereka sendiri walau keinginan untuk berbagi beban itu sangat kuat mereka rasakan. Mereka nggak sampai hati membuatmu semakin frustasi dengan masalah mereka.”
“Harusnya mereka cerita kalau mereka punya masalah…”
“Pernahkah kamu beri mereka waktu untuk bicara tentang masalah mereka?” Aku memberi jeda agar dia menjawab, tapi dia seakan mengunci mulutnya rapat-rapat. “Hampir setiap kali ketemu, hal yang diperbincangkan nggak jauh-jauh dari masalahmu. Masalah ini, masalah itu, masalah lama yang nggak kelar-kelar sampai masalah baru yang bikin suasana tambah runyam. Semua serba masalah. Nggak cukup sampai di situ, cerita sedihmu itu masih disambung dengan segudang keluh kesah yang mengundang resah.
“Bayangkan, Vy! Bayangkan! Mendengar penuturanmu tentang masalahmu dan keluhanmu yang bejibun itu aja udah bikin kepala mau pecah, apalagi kalau ditambah cerita tentang masalah mereka. Huff… dunia bakalan sesak oleh masalah. Padet full problemo.
“Lebih baik diam, kan? Toh menceritakan masalah mereka padamu juga nggak menyelesaikan masalah. Menceritakan masalah pada orang bermasalah. Itu bukan solusi, Vy.”
“Mereka nggak percaya padaku?”
“Bukan nggak percaya, hanya nggak mau nambah bebanmu. Itu aja.”
“Kalau mereka menganggapku sebagai teman, seharusnya mereka nggak sungkan menceritakan masalah mereka padaku.”
“Justru karena mereka adalah temanmu, mereka nggak mau membebanimu.”
“Aku nggak terbebani”
“Benarkah?”
“Tentu aja!”
“Satu masalah yang kamu hadapi menciptakan banyak keluhan di hidupmu, Vy. Apalagi kalau ditambah masalah mereka, bisa jadi waktumu habis untuk mengeluh. Mereka nggak mau kamu seperti itu.”
“Separah itukah aku?”
“Ya!”
Dia menunduk, menyembunyikan wajah di balik kedua telapak tangannya. Sepertinya perkataanku sampai ke hatinya. Dia terisak. Jemarinya mulai basah. Ahh… dia menangis. Mungkinkah dia menyesali sikapnya? Mungkinkah dia menyadari kesalahannya? Semoga saja… itu yang kuharapkan.
Kutunggu dia, sampai reda tangisnya. Biar… biarkan hatinya membimbingnya untuk introspeksi diri. Aku ingin melihat perbedaan darinya setelah pertemuan kami kali ini.
“Maaf…”
“Mengapa minta maaf?”
“Aku bersalah…”
“Aku sudah sering mendengarnya.”
“Aku harus gimana?”
“Berubah.” Kataku penuh penekanan.
“Hm…?”
“Ya. Percuma kalau hanya minta maaf tapi nggak ada perubahan sikap darimu, Vy. Sekali dua kali kamu cerita tentang masalahmu, mereka akan simpati. Tapi kalau setiap kali kalian bertemu yang kamu ceritakan itu masalah-masalahmu, lama kelamaan mereka akan bosan. Ujung-ujungnya mereka lebih memilih menghindari pertemuan denganmu daripada mendengarkanmu.”
“Apa yang harus diubah?”
Spontan aku menepuk jidatku mendengarnya. Kyaaa… Yang benar aja?! Dia nggak tahu apa yang harus dia ubah dari sikapnya?! Haruskah aku memberitahukannya juga? Wuaaa… sabar… sabar… sedikit lagi… Ya, sedikit lagi perjuanganmu menyadarkannya. She’ll change, Oke?! Semangat! Kataku pada diriku sendiri. “Banyak hal, Vy.”
“Banyak? Apa aja?”
“Kamu ingin tahu?”
“Beritahu aku!”
“Hm… tapi, apa kamu siap mendengar semuanya?”
Dia mengangguk pelan.
“Oke.” Aku memperbaiki posisi dudukku. “Yang pertama, sebaiknya kamu mengubah sikapmu yang sering seenaknya sendiri itu. Yang kedua, mulailah mencoba untuk mendengarkan mereka. Yang ketiga, cobalah untuk mengerti mereka. Yang keempat, berusahalah untuk mengurangi tuntutanmu pada mereka. Yang selanjutnya, nanti aja…”
“Bisa kamu jelaskan?”
Aku manggut-manggut, “Tentu”
“Vy… Dalam hidup ini kita selalu menemui dua sisi. Satu sisi yang kita inginkan dan satu sisi kenyataan. Kadang sisi yang kita inginkan menjadi kenyataan, tapi sering kali kedua hal itu bertolak belakang membuat kita nggak nyaman.
“Vy… lumrah kalau kita sebagai manusia ingin bebas melakukan apapun yang kita inginkan. Semua hal yang ada di otak kita ingin kita realisasikan. Tapi kita harus ingat kalau kebebasan kita itu terbatas. Terbatas oleh keinginan orang lain.
“Di dunia ini kita nggak hidup sendiri, nggak akan bisa hidup sendiri. Kita hidup dengan orang lain, berinteraksi dengan mereka, berbaur dengan mereka dan menyesuaikan diri dengan mereka. Kita nggak bisa memaksakan kehendak kita pada mereka…”
“To the point aja deh, lama.”
“Intinya gini, Vy. Jika kamu ingin didengarkan, belajarlah untuk mendengar. Jika kamu ingin dimengerti, belajarlah untuk mengerti. Jika kamu ingin diperhatikan, maka belajarlah untuk memperhatikan. Jika kamu ingin mereka ada saat kamu membutuhkan mereka, belajarlah untuk memenuhi hak-hak mereka. Sepertimu, mereka juga ingin didengar, dimengerti dan diperhatikan.
“Sekali waktu cobalah untuk menjadi teman seperti yang mereka inginkan, bukan hanya meminta mereka untuk menjadi teman sesuai keinginanmu. Balaslah pengertian mereka, perhatian mereka, waktu mereka untuk mendengarkanmu dengan hal yang sama. Walau mereka nggak pernah memintanya darimu, aku rasa mereka pun menginginkan itu.”
“Gitu ya?”
Aku mengangguk. “Aku nggak ingin mendengarmu mengeluhkan mereka lagi, Vy. Mereka terlalu baik untuk kamu keluhkan. Nggak semua orang bisa sesabar mereka menghadapimu. Tuhan masih mengasihimu dengan mengirimkan mereka di hari-harimu. Mereka, orang-orang hebat itu tetap menyayangimu walau kamu hampir selalu menyusahkan mereka.
“Yeah, mungkin saat ini kamu nggak menyadari kebaikan-kebaikan yang mereka tebarkan di kehidupanmu. Yang bisa kamu lihat saat ini hanya kekurangan dan kelemahan pada diri mereka. Tapi nanti, saat kalian berpisah, mereka berada jauh darimu, barulah kamu akan sadar betapa berartinya mereka untukmu. Dan ketika masa itu tiba, udah terlambat bagimu untuk menyesalinya. Terlambat, Vy.
“Kamu ingin semua itu terjadi? Ingin mereka benar-benar pergi dan nggak akan mendengarkanmu, memperhatikanmu, mengerti dirimu dan memberikan apa yang kamu butuhkan lagi? Begitukah?”
Dia menggeleng.
“Kalau nggak ingin, lekaslah berubah. Mereka mulai jengah dengan permintaan maafmu yang nggak diikuti dengan perubahanmu. Mereka ingin melihatmu berubah, Vy. Mereka mengharapkan hal itu terjadi.
“Semakin hari semakin bertambah usiamu, cobalah imbangi dengan kedewasaan sikapmu. Jika kamu masih kecil dulu, orang-orang akan maklum dengan sikap manja dan kekanak-kanakanmu itu. Tapi masa sudah berubah. Kamu bukan anak kecil lagi. Sudah saatnya kamu mencoba memahami keadaan orang lain, mengerti yang mereka pikirkan dan rasakan.”
“Apakah bersikap manja itu salah?”
“Aku nggak bilang gitu. Kadang manja malah dibutuhkan untuk menambah keharmonisan suatu hubungan. Kadang seorang yang manja itu terlihat manis dan menggemaskan. Aku tak memungkiri hal itu. Kadang aku bersikap manja dan kadang aku suka dengan orang lain yang bermanja-manja denganku. Tapi perlu kukatakan juga, sikap manja juga bisa memancing emosi orang. Apalagi kalau manjanya sudah sampai level keterlaluan. Orang nggak akan menganggap seseorang yang manja itu sebagai sikap yang manis dan menyenangkan, justru mereka akan berpikir orang manja itu menyebalkan.
“Bersikaplah wajar. Sesuaikan dengan keadaan. Itu lebih baik daripada kita menutup mata dengan lingkungan sekitar kita dan melakukan semua hal sekehendak hati kita. Ingat, Vy, kebebasan kita dibatasi oleh kebebasan orang lain. Kita menginginkan sesuatu, mereka pun menginginkan sesuatu.
“Kalau kita bisa mengendalikan keinginan kita dan bisa menyesuaikannya dengan keadaan di sekitar kita, bukan hal yang mustahil kita akan mendapatkan sesuatu yang lebih besar dari yang kita inginkan. Tapi sebaliknya, kalau kita memaksakan diri keinginan kita yang terpenuhi tanpa mempedulikan keadaan di sekitar kita, yang kita temui nggak lebih dari sekadar kekecewaan dan penyesalan.
“Pilihan ada di tangan kita masing-masing. Memilih yang baik akan mendapatkan yang baik, memilih yang buruk akan mendapatkan yang buruk. Hukum sebab akibat berlaku di sini.” Aku mengakhiri ocehan panjangku dengan sebuah senyum.
“Aku harus mengurangi sikap manjaku?”
Aku mengangguk.
“Aku harus mendengarkan mereka?”
Aku mengangguk, “Jika itu baik dan membuatmu lebih berguna, kenapa tidak?”
“Aku harus memperhatikan mereka?”
Aku mengangguk, “Tentu. Bukankah mereka temanmu?”
“Aku harus memenuhi kebutuhan mereka?”
Aku mengangguk, “Selagi kamu mampu, lakukanlah yang terbaik. Yang terbaik bukan yang dipaksakan, yang terbaik bukan yang berlebihan. Cukup berikan hak-hak mereka sebagai temanmu.”
“Bagaimana denganku?”
“Nggak perlu khawatir, Vy. Ada pekerjaan, ada hasil. Menanam kebaikan akan menuai kebaikan. Kalau kamu menunaikan kewajibanmu sebagai seorang teman dengan baik, aku yakin kamu juga akan mendapatkan hakmu sebagai teman. Nggak masalah jika bukan mereka yang membayar hakmu secara langsung. Tapi aku yakin Tuhan Maha Adil, kalau bukan mereka, akan ada orang lain yang membayar lunas hak-hak itu padamu.”
“Benarkah?”
“Aku membuktikannya.”
Dia menatapku, meminta keyakinan.
“Cobalah dulu! Kalau kamu nggak mendapatkan balasan dari semua yang telah kamu kerjakan nanti, aku yang akan memenuhi hak-hakmu. Aku jaminannya. Aku berjanji.”
“Kamu mau mendengarkanku, mendengarkan setiap masalah dan keluhanku, mendengarkan omelanku. Kamu mau melakukan itu?”
“Ya.” Aku tersenyum meyakinkannya.
Dia menarik nafas panjang lalu menghembuskannya perlahan. “Baiklah, akan kucoba. Tapi kalau nggak berhasil, kamu harus siap kuhajar!” katanya sok garang.
Aku tertawa ngakak, “Oke. Kalau kata-kataku itu terbukti, traktir aku sebulan penuh. Wajib!” gantian aku yang mengancam.
“Ogah!”
“Iiih… kok gitu?” protesku pura-pura nggak terima.
“Biarin… Weeks!” dia menjulurkan lidahnya.
“Huff.. Ya udah deh, ngalah aja.” Aku menyadarkan punggungku, sambil memperhatikannya. “Udah nggak usah nangis. Simpan air mata itu untuk hal yang lebih penting. Jadi cewek nggak boleh cengeng!”
“Siapa yang nangis?!” dia berusaha menyembunyikan fakta.
“Mata sembab gitu, masih menyangkal.”
“Aku cuma kelilipan kok.”
“Iya, cuma kelilipan. Kelilipan kata-kataku, kan? Dasar! Udah ketangkap basah masih berusaha menghindar. Percuma, Vy.”
“Ahhh.. udah ah, diam.” Pipinya memerah, menahan malu.
Aku tertawa tertahan melihatnya, “Ya udah, selamat berubah ya, Vy… Good Luck!”

@@@

Sahabatku, seseorang yang mau mendengarkan kita, mau mengerti kita, mau memperhatikan kita, mau memahami kita dan mau berusaha memenuhi kebutuhan kita jauh lebih berharga daripada setumpuk dollar.
Seseorang yang mau bersabar menghadapi kita, mau mengalah dengan sikap kita, mau berkorban demi kita, mau melakukan sesuatu yang enggan orang lain lakukan untuk kita jauh lebih berharga daripada segunung emas.
Tapi sayang, hanya sedikit dari kita yang menyadarinya, menyadari keberadaan mereka di lembar kehidupan kita.
Ego kita, ketamakan kita, telah menutupi mata hati kita untuk melihat ketulusan kasih sayang yang mereka persembahan di singkatnya usi kita.
Kelak, saat mata tak lagi bisa memandang, ketika telinga tak lagi bisa mendengar, ketika tangan tak lagi bisa menggenggam, barulah kita tersadar, bangkit dari kesalahan dan keacuhan kita, mencarinya. Seseorang yang sangat berarti dalam detak nafas kita.
Ketika waktu (penyesalan) itu datang, kita tahu semuanya terlambat dan seberapa pun lamanya kita bersedu sedan, waktu takkan berputar mundur mengembalikan apa yang dulu kita sia-siakan…

(Wenovy Aza, 20 Oktober 2012 9:25 wib)

0 komentar:

Posting Komentar