“Horeee…!!!!!”
Suara riuh kegirangan mereka menggema menggoyangkan seisi sekolah. Anak-anak itu berhamburan meninggalkan bangku belajar mereka di kelas, bertebaran di lorong, halaman, lapangan hingga kantin sekolah. Wajah-wajah ceria mereka menyenangkan dipandang mata.
Hm… ternyata belum berubah. Sudah menjadi hal yang wajar, jam istirahat menjadi waktu yang paling dinantikan para pelajar usai penat berjam-jam belajar. Kukira untuk hal ini bukan hanya mereka yang merasakannya, siswa SMP, SMA bahkan mahasiswa pun sama, seperti itu juga. (bagi yang merasa pelajar, hayo ngaku aja… >.
Mereka –anak-anak itu– walau guru belum menutup kegiatan belajar di kelas, begitu mendengar dering bel berbunyi, langsung saja berlari pergi. Sedikit menyebalkan sih, gurunya seperti tak dianggap. Tapi namanya juga anak-anak, selalu punya cara tersendiri untuk meluluhkan hati sang guru. Yups, betul! Wajah-wajah polos mereka, keceriaan mereka yang membuat sang guru tersenyum maklum menyaksikan polah tingkah mereka.
Aku di sini, duduk di taman sekolah. Sekolah kenangan tempatku belajar di tingkat sekolah dasar. Ya, di sinilah dulu aku menghabiskan enam tahunku menuntut ilmu pengetahuan dasar. Walau hampir semua bangunan sekolah sudah direnovasi, tak sulit bagiku membuka memori selama aku menempuh studi di sini. Masih tampak jelas masa kecilku sepuluh tahun silam belajar, bermain, berlarian, berkumpul dengan teman berbagi cerita dan pengalaman… banyak hal yang kulakukan seolah baru saja terjadi kemarin. Tak terasa waktu berjalan begitu cepat….
“Wuaaa…!”
Bruuuk…! Dua bocah bertubrukan cukup keras dan terjatuh setelah salah satu dari mereka tak mampu mengerem laju larinya. Adegan berkejar-kejaran terhenti seketika, keadaan sekitar pun hening beberapa saat. Semua mata tertuju pada mereka –dua anak yang terjatuh itu.
“Maaf Ren,” Ujar bocah yang menabrak, meringis kesakitan. “Aku nggak sengaja.” Tambahnya, menahan perih di siku dan lututnya. Beberapa kali dia mengusap kedua bagian itu, mengusir rasa sakit.
Yang dipanggil Ren hanya diam tak menjawab. Dia tak mau tangisnya pecah di depan teman-temannya. Dia bangkit lalu pergi membawa kotak bekalnya menjauhi keramaian.
Aku beranjak, ingin mendekatinya. Tapi kemudian kuurungkan niatku saat melihat seorang bocah berkerudung menghampirinya. Kuputuskan tetap di tempatku semula, memperhatikan mereka.
Bocah berkerudung itu duduk di samping Ren. Sembari bicara padanya (aku tak tahu apa yang dia katakan karena aku tak bisa mendengarnya dari jarak sejauh ini), ia meletakkan kotak bekal di pangkuannya lalu membukanya. Ada roti berukuran cukup besar di dalamnya yang dia ambil. Pelan-pelan dia membagi roti itu menjadi dua sama besar.
“Ini untukmu…” mungkin itulah yang dia ucapkan saat memberikan sepotong roti di tangan kanannya pada Ren.
Ren menerima roti itu dengan senyum sumringah, kesedihan di wajahnya pudar seketika. Begitu pun dia, ikut tersenyum saat teman di sampingnya tersenyum. Sepertinya dia merasakan indahnya berbagi dengan orang lain hingga dia merasa bahagia saat bisa memberikan sebagian miliknya untuk seseorang yang membutuhkan.
Menarik! Di saat bocah lain berlari tak peduli setelah puas mengobati rasa penasaran mereka mendengar teriakan Ren ketika terjatuh tadi, bocah berkerudung itu justru berlari menghampiri Ren dan memberikan sebagian bekalnya. Hm… bahkan orang dewasa pun belum tentu terpikir untuk melakukan hal itu.
Baru saja bocah berkerudung itu akan memakan roti seperti yang dilakukan Ren, dia tak sengaja melihat temannya yang lain duduk menyendiri di pojok taman. Dia masukkan lagi roti di tangannya ke kotak bekalnya. Kulihat dia bercakap-cakap sebentar dengan Ren sebelum beranjak menghampiri teman yang dia lihat sendiri itu.
Apa yang akan dia lakukan? Tanya hatiku penasaran.
Kita menyebutnya, hm… basa-basi. Mungkin itu yang dilakukan bocah berkerudung itu sebelum dia menyerahkan kotak bekalnya pada temannya itu. Dengan lembut dia menggandeng tangannya, mengajaknya duduk bersama Ren. Dan setelah itu, mereka bertiga saling bercerita sampai jam istirahat usai. Mereka berpisah menuju kelas masing-masing.
Keadaan luar kelas kembali sepi, seperti saat aku datang ke sini tadi pagi…
Tuhan, aku baru saja menyaksikan sepotong skenario indah yang dimainkan bocah berkerudung itu. Berbagi roti. Sederhana, kan? Tapi tak semua dari kita mau melakukannya. Apalagi melakukannya dengan tulus seperti yang bocah berkerudung itu lakukan. Coba kita ingat, selama hidup ini pernahkah kita memberikan semua harta yang kita miliki kepada orang lain tanpa menyisakan sedikit pun untuk diri kita sendiri? Kuulangi, pernahkah kita memberikan semua (ingat ya, semua bukan hanya sebagian) harta yang kita miliki kepada orang lain? Aku yakin, hanya sedikit dari kita yang pernah melakukannya. Iya kan?! Aku pun mengakuinya…
Tak lama berselang, kulihat bocah berkerudung itu keluar lagi diikuti teman-temannya. Dia berjalan ke kursi panjang tempatnya duduk tadi, sendiri. Sebuah buku di tangannya mulai dibuka dan dibacanya. Ada ulangan kali ya? Pikirku.
Aku menghampirinya, “Assalamu’alaikum…” sapaku ramah.
“Wa’alaikumsalam…” jawabnya sambil melihatku dan menutup bukunya.
“Silakan duduk, Kak.” kata bocah berkerudung itu padaku sembari menggeser duduknya.
“Ya, makasih…” balasku dengan senyum.
Setelah duduk, Aku mengulurkan tanganku, mengajaknya berkenalan. Tentu saja kupasang wajah seramah mungkin agar dia tak takut denganku (kata orang wajahku serem sih, hehe). Tanpa berpikir lama, bocah berkerudung itu menyambut uluran tanganku. Kami berjabat tangan, “Annisa” katanya manis.
“Ovy…” kataku memperkenalkan diri. “Apakah kedatanganku mengganggu, Dek?” tanyaku kemudian. “Kulihat kamu tadi sedang belajar.”
“Enggak kok, Kak. Saya cuma baca-baca aja. Hm… ada yang bisa saya bantu, Kak?”
“Aku hanya pengin ngobrol, Dek. Boleh kan?”
Dia mengangguk cepat, mengiyakan.
“Dek Nisa… Hm… boleh kan aku panggil Nisa?”
Dia mengangguk lagi.
“Dek Nisa kelas berapa?”
“Kelas enam, Kak.”
“Ouw… Udah hampir ujian ya?”
“Ini juga lagi ujian, Kak.”
“Lhoh, jadi sekarang ini Dek Nisa lagi ngerjain ujian ya?” aku merasa bersalah mendekatinya, mengganggu ujiannya.
Dia menggeleng sambil tersenyum. “Ujiannya di dalam kok, Kak. Satu kelas dibagi dua, nomor absen ganjil dan genap. Saya masuk nomor absen genap, jadi ujiannya nanti jam keenam. Sekarang kelasnya baru dipakai ujian teman-teman nomor absen ganjil.”
Aku mengangguk-angguk paham, “Ouw gitu… Hm… Dek Nisa mau belajar dulu nih?”
“Saya mau nemenin Kak Ovy ngobrol aja.” Sahutnya sedikit malu-malu.
“Udah siap ujian, Dek?” aku memastikan, takutnya dia merasa terganggu dengan kehadiranku. Walau tak dia ungkapkan, aku kan harus tahu diri.
“InsyaAlloh, Kak. Sudah saya persiapkan kok.”
“Alhamdulillah… Sip!”
Aku teringat, aku membawa roti di tasku. Aku mengambilnya dan –tanpa ragu– kusodorkan padanya, “Untukmu”
Dia tak langsung menerimanya, “Untuk saya?” tanyanya sembari melihatku.
Aku tersenyum, mengangguk, “Ya, untukmu.”
Dia masih ragu untuk menerimanya.
“Ayo… terimalah.” Kusodorkan roti itu lebih dekat padanya.
Dia ragu-ragu mengambil roti itu dari tanganku. “Makasih, Kak.”
“Yups… Sama-sama.”
Aku senang dia mau menerima pemberianku. Walau hanya roti, dia tetap senang menerimanya. Ekspresi wajah yang tulus…
“Ini untuk Kak Ovy.” Dia menyodorkan separuh roti yang kuberikan tadi.
“Kok dikembalikan, Dek?”
“Bukan dikembalikan, Kak. Saya pengin makan bareng Kak Ovy.”
“Begitu ya?! Hm… Oke!” aku menerima pemberiannya. Kami pun makan roti bersama.
“Apa Dek Nisa selalu begini?” tanyaku kemudian.
Dia menelan roti di mulutnya, “Maksudnya, Kak?”
“Membagi roti dengan orang lain.”
Dia tersenyum, “Karena saya punyanya roti, ya itu yang saya bagi dengan Kak Ovy.”
“Juga dengan kedua teman Dek Nisa tadi?”
“Hm…? Iya, Kak.” Jawabnya sambil mengangguk.
“Dek Nisa nggak makan rotinya?”
“Lha ini, saya makan roti, Kak.” Ujarnya mengajakku bergurau.
Aku tersenyum tipis, “Maksudku, roti yang Dek Nisa bawa tadi, bukan roti yang ini.”
“Ouw…” Dia geleng-geleng.
“Jadi Dek Nisa nggak makan bekal Dek Nisa sendiri?”
“Iya, Kak.”
“Kenapa, Dek?”
“Rotinya sudah saya berikan ke teman saya.”
“Kan bisa dibagi tiga, Dek. Jadi semuanya kebagian.”
“Kalau saya ngasihnya barengan mungkin bisa dibagi tiga, tapi kan tadi nggak bareng, Kak. Sewaktu istirahat tadi saya mencari Ais, tapi nggak ketemu-ketemu. Waktu saya mau ke taman, saya lihat Renna jatuh dan bekalnya tumpah berserakan di lantai. Karena itu saya membagi roti saya jadi dua. Eh, nggak sengaja saya lihat Ais waktu duduk di sini tadi, ya sudah, saya berikan roti saya untuk dia. Untung rotinya belum saya makan.” Jelasnya panjang lebar.
“Rotinya kan bisa dibagi dua lagi dengan Dek Nisa? Kok dikasihin semua sih, Dek?” tanyaku penasaran.
“Saya ngasih roti ke Renna separuh, jadi saya juga harus ngasih ke Ais sama besar. Kita kan nggak boleh membeda-bedakan orang dalam berteman. Termasuk kalau ingin memberi sesuatu pada mereka. Kalau rotinya saya bagi dua, Ais hanya kebagian seperempat, Kak. Daripada seperti itu lebih baik saya yang mengalah.”
“Tapi kan Dek Nisa jadi nggak makan siang tadi…”
“Tapi kan Kak Ovy ngasih saya roti sekarang. Ini…” dia menunjukkan roti di tangannya yang tinggal separuh.
“Apa biasanya juga seperti tadi, Dek?”
“Maksudnya, Kak?”
“Memberikan semua bekal ke teman Dek Nisa.”
“Kadang-kadang, Kak.”
“Dek Nisa nggak lapar?”
Dia tertawa kecil mendengar pertanyaanku. “Menahan lapar sebentar nggak akan membuat saya sakit, Kak. Yeah, itung-itung latihan puasa, Kak.”
Annisa benar juga, dia nggak perlu takut kalau lapar. Toh setelah sampai di rumah bisa langsung makan, atau bisa juga dia memakai uang sakunya untuk jajan. Kenapa tak terpikirkan olehku?!
“Ibu Dek Nisa nggak marah kalau bekalnya Dek Nisa dikasihkan orang lain seperti tadi?”
“Kenapa harus marah, Kak? Kan memberi itu baik…”
“Iya sih, tapi kan itu jatah makan siang Dek Nisa. Biasanya…” aku tak tega melanjutkan perkataanku.
“Ibu yang ngajarin saya berbuat seperti itu, Kak. Kata Ibu, mendahulukan orang yang lebih membutuhkan itu baik. Renna sedih karena bekalnya tumpah. Sedangkan Ais, dia hanya makan sekali sehari karena itu setiap hari saya selalu membagikan bekal saya dengan Ais. Dibandingkan dengan saya, mereka lebih membutuhkan roti itu, Kak. Saya sih nggak masalah, kan sampai di rumah saya bisa makan roti lagi.” terangnya dengan ringan.
“Begitu ya?! Hm… Apakah aku boleh tanya lagi, Dek?”
“Silakan, Kak.”
“Sejak kapan Dek Nisa melakukan hal itu? Berbagi dengan orang yang membutuhkan…”
“Sejak Ibu bilang kalau berbagi hal yang baik dengan orang lain itu baik. Sejak saat itu Ibu membiasakan saya berbagi dengan orang lain, dengan siapa pun.”
“Berbagi bekal makanan, Dek?”
“Nggak hanya itu, berbagi yang lain juga, Kak.”
“Ibunya Dek Nisa hebat ya?! Hm… Dek Nisa melakukan semua itu karena Ibu?” aku mencoba menarik kesimpulan.
Dia menggeleng cepat.
Aku mengernyit, “Lalu?”
“Ibu pernah bilang kalau orang yang baik itu nanti akan dihadiahi surga. Ustadz yang ngajarin saya ngaji dan guru agama di sekolah juga bilang gitu, Kak.
“Kata Ibu surga itu indah, Kak. Surga adalah tempat terindah yang didambakan setiap orang. Ibu sering bilang kalau suatu saat nanti Ibu ingin tinggal di sana bersama saya, Ayah, Nenek, Kakek dan semua orang yang menyayangi Ibu. Ibu juga ingin bertemu Nabi di sana. Kata Ibu, Nabi Muhammad SAW juga tinggal di surga. Saya ingin menghadiahkan surga untuk Ibu.”
Subhanalloh… Untuk beberapa saat aku tak bisa berkata-kata, terenyuh dengan penuturannya. Tuhan, mungkinkah Annisa adalah malaikat kecil yang sengaja Engkau pertemukan denganku? Kata-katanya menggetarkanku. Hatinya itu sebening embun yang menguapkan kebaikan bagi sekitarnya. Keinginannya sungguh mulia, menghadiahkan surga untuk Ibunya. Aku iri padanya…
Annisa, bocah luar biasa yang menginginkan surga untuk ibunya. Dia rela menahan lapar untuk menyenangkan hati temannya. Dia rela berbagi bekal agar temannya tak merasa lapar…
“Dek Nisa, sayang sama Ibu?”
Dia mengangguk mantap, tak lupa dia sertakan senyum manisnya.
“Dek Nisa nggak pengin surga? Kalau surganya dihadiahkan untuk Ibu, Dek Nisa nggak dapat surga dong.”
“Kenapa nggak bisa, Kak?”
“Bukannya surga yang Dek Nisa dapatkan nanti akan Dek Nisa berikan ke Ibu. Jadi nggak ada surga lagi untuk Dek Nisa.”
“Apa surga itu hanya ada satu, Kak?”
Sejenak aku berpikir, “Hm… Maaf, Aku nggak tahu Dek.” Kataku jujur.
“Kata Ibu semua orang di dunia ini pengin tinggal di surga dan setiap orang di dunia ini bisa mendapatkan surga. Berarti ada dua kemungkinan kan, Kak? Yang pertama, surga itu ada banyak. Yang kedua, surga itu sangat luas jadi bisa dihuni oleh semua orang di dunia.”
That’s right! Cerdas!!
“Iya ya, Dek. Hm… terus, bagaimana cara Dek Nisa biar bisa dapat surga?”
“Menjadi orang yang baik.”
“Menurut Dek Nisa, orang yang baik itu orang yang seperti apa sih?”
“Orang yang berbakti pada kedua orang tuanya. Orang yang suka menolong orang lain yang kesusahan. Orang yang membantu meringankan beban orang lain. Orang yang berani mengungkapkan kebenaran. Dan masih banyak lagi, Kak.
“Kata Ibu orang baik itu mudah dikenali, Kak. Ibu bilang kalau ada orang yang melakukan sesuatu dan itu membuat orang lain tersenyum senang, itu tandanya dia orang yang baik.”
“Dek Nisa juga orang yang baik…” ujarku tulus.
“Aamiin…”
“Dek Nisa kan udah membuat dua teman Dek Nisa tersenyum, juga membuatku tersenyum. Itu tandanya Dek Nisa orang yang baik.”
Pipinya memerah mendengarku bicara begitu. Manisnya bocah ini…
Pertemuan singkat dengan bocah berhati malaikat melekatkan secarik memori di ingatanku, melecut semangatku. Aku ingin mengikuti jejaknya, belajar berbagi dengan orang lain. Seperti apa pun bentuknya, sekecil apa pun nilainya, kalau hal itu bermanfaat bagi orang lain akan menjadi kebaikan juga. Lihat saja, akan kuciptakan senyuman di bibir banyak orang di dunia ini… ^^
Alhamdulillah…
@@@
Ada dua alasan seseorang hidup bahagia di dunia :
1. Dia bahagia saat dia bisa mengumpulkan banyak harta kekayaan
2. Dia bahagia saat dia bisa membagikan harta kekayaannya pada orang lain
Jika kita memilih yang pertama, mungkin kita akan kaya di dunia ini,
Jika kita memilih yang kedua, pasti kita akan kaya di akhirat…
Pilihan telah tersedia, keputusan ada di tangan kita…
Tuhan tak pernah memaksa kita melakukan sesuatu sesuai dengan hukum-Nya, tapi Tuhan tetap memperlakukan hukum-Nya pada kita, “Barangsiapa menanam kebaikan dia akan menuai kebaikan dan barangsiapa menanam keburukan dia akan menuai keburukan.”
Sekali lagi, keputusan ada di tangan kita…
Saranku, ‘Tebarkan kebaikan di hidupmu dan bersiaplah menyambut kebaikan yang diberikan Tuhanmu.’
GOOD LUCK…!!!
Wenovy Aza
Istana Inspirasi, 21 Oktober 2012 10:51 wib

0 komentar:
Posting Komentar